Seorang mukmin sejati pasti percaya bahwa ada yang
mengatur perjalanan hidup manusia, yaitu Dzat Yang Maha Berkehendak.
Walaupun dalam batas-batas tertentu Dzat Yang Maha Agung itu juga
memberikan kewenangan kepada manusia untuk menentukan jalan hidupnya
sendiri.
Begitupun, Bisri Syansuri kecil tentu
tidak akan pernah menyangka jika pada akhirnya akan menjadi “orang“ di
Denanyar Jombang, bahkan sampai menjadi Rais Aam PBNU menggantikan kakak
iparnya (KH Wahab Chasbullah) yang harus terlebih dahulu menghadap
Allah SWT.
Perjalanannya menuju Jombang diawali ketika pada usia 15 tahun, Bisri Syansuri mulai keluar kandang untuk nyantri kepada Kyai Kholil di Bangkalan Madura. Di sinilah Bisri Syansuri secara serius mendalami ilmu Fiqh yang dikemudian hari menjadi trade mark-nya, dan sekaligus bertemu dengan KH Wahab Chasbullah, washilah yang membawanya ke Jombang, nyantri kepada Hadratussyaikh KH Hasyim Asy’ari selama enam tahun , sebelum memperdalam ilmu di tanah suci Mekkah.
KH Bisri Syansuri muda memang tidak terlalu menonjolkan diri dalam lingkungan pergaulannya. Bisri Syansuri muda lebih suka menghabiskan waktu dengan rutinitas dan kebersamaan dengan teman-teman sebayanya.
Walaupun demikian, KH Bisri Syansuri tetap mampu “ tampil menjadi pelopor“ dalam jagat pendidikan pesantren. Setelah selama dua tahun membantu mertuanya sembari belajar, KH Bisri Syansuri menetapkan pilihan untuk hidup mandiri dan bertekad membangun pesantren di Denanyar Jombang.
KH Bisri Syansuri boleh disebut sebagai “kyai plus“. Dalam diri KH Bisri Syansuri paling tidak melekat tiga karakter sekaligus. Yaitu sebagai perintis kesetaraan gender dalam pendidikan di pesantren, seorang ahli dan pecinta fiqh dan sekaligus seorang politisi
Perintis Kesetaraan Gender
Rasanya tidak berlebihan kalau Kyai Bisri Syansuri disebut sebagai pejuang kesetaraan gender, khususnya di kalangan pesantren. Kyai Bisrilah orang pertama yang mendirikan kelas khusus untuk santri-santri wanita di pesantren yang didirikannya. Walalupun baru diikuti perempuan-perempuan di desanya.
Di zaman yang masih kental dengan nilai-nilai patrimonial waktu itu, apa yang dilakukan Kyai Bisri termasuk kategori “aneh“. Untung sang guru yang sangat dihormatinya, hadratussyaikh KH Hasyim Asy’ari tidak menentang terobosan yang dilakukannya. Kalau saja hadratussyaikh melarang, niscaya Kyai Bisri Syansuri tidak akan melanjutkan langkah fenomenal yang telah dibuatnya. Hal ini semata-mata karena takdzimnya yang begitu mendalam kepada sang guru yang selalu dipanggilnya “kyai“.
Ahli dan Pecinta Fiqh
Karakter sebagai pecinta Fiqh terbentuk ketika Kyai Bisri nyantri kepada KH Kholil Bangkalan, dan semakin menguat setelah nyantri di Tebuireng. Kyai Bsiri memang sengaja mendalami pokok-pokok pengambilan hukum agama dalam fiqh, terutama literatur fiqh lama.
Tidak mengherankan jika Kyai Bisri begitu kukuh dalam memegangi kaidah-kaidah hukum fiqh, dan begitu teguh dalam mengkontekstualisasikan fiqh kepada kenyataan-kenyataan hidup secara baik.
Walaupun begitu, Kyai Bisri tidak kaku dan kolot dalam berinteraksi dengan masyarakat. Hal itu setidaknya terlihat dari upayanya dalam merintis pesantren yang dibangunnya di Denanyar.
Politisi Tangguh
Persinggungannya dengan politik praktis diawali ketika bergabung dengan Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) mewakili Masyumi, menjadi anggota Dewan Konstituante dan puncaknya ketika dipercaya menjadi Ketua Majelis Syuro PPP ketika NU secara formal tergabung dalam partai berlambang ka’bah itu.
Salah satu prestasi yang paling mengesankan, ketika Kyai Bisri Syansuri berhasil mendesakkan disyahkannya UU perkawinan hasil rancangannya bersama-sama ulama NU. Padahal sebelumnya pemerintah sudah membuat rancangan undang-undang perkawinan ke Dewan Perwakilan Rakyat.
Kini, masyarakat merindukan kembali hadirnya seorang “kyai plus“ seperti KH Bisri Syansuri. Kapankah kerinduan itu terobati. Wallahu a’lam. (Amn)
Sumber "KH Bisri Syansuri, Pecinta Hukum Fiqh sepanjang Hayat", KH Abdurahman Wahid, Majalah Amanah, 1989
Perjalanannya menuju Jombang diawali ketika pada usia 15 tahun, Bisri Syansuri mulai keluar kandang untuk nyantri kepada Kyai Kholil di Bangkalan Madura. Di sinilah Bisri Syansuri secara serius mendalami ilmu Fiqh yang dikemudian hari menjadi trade mark-nya, dan sekaligus bertemu dengan KH Wahab Chasbullah, washilah yang membawanya ke Jombang, nyantri kepada Hadratussyaikh KH Hasyim Asy’ari selama enam tahun , sebelum memperdalam ilmu di tanah suci Mekkah.
KH Bisri Syansuri muda memang tidak terlalu menonjolkan diri dalam lingkungan pergaulannya. Bisri Syansuri muda lebih suka menghabiskan waktu dengan rutinitas dan kebersamaan dengan teman-teman sebayanya.
Walaupun demikian, KH Bisri Syansuri tetap mampu “ tampil menjadi pelopor“ dalam jagat pendidikan pesantren. Setelah selama dua tahun membantu mertuanya sembari belajar, KH Bisri Syansuri menetapkan pilihan untuk hidup mandiri dan bertekad membangun pesantren di Denanyar Jombang.
KH Bisri Syansuri boleh disebut sebagai “kyai plus“. Dalam diri KH Bisri Syansuri paling tidak melekat tiga karakter sekaligus. Yaitu sebagai perintis kesetaraan gender dalam pendidikan di pesantren, seorang ahli dan pecinta fiqh dan sekaligus seorang politisi
Perintis Kesetaraan Gender
Rasanya tidak berlebihan kalau Kyai Bisri Syansuri disebut sebagai pejuang kesetaraan gender, khususnya di kalangan pesantren. Kyai Bisrilah orang pertama yang mendirikan kelas khusus untuk santri-santri wanita di pesantren yang didirikannya. Walalupun baru diikuti perempuan-perempuan di desanya.
Di zaman yang masih kental dengan nilai-nilai patrimonial waktu itu, apa yang dilakukan Kyai Bisri termasuk kategori “aneh“. Untung sang guru yang sangat dihormatinya, hadratussyaikh KH Hasyim Asy’ari tidak menentang terobosan yang dilakukannya. Kalau saja hadratussyaikh melarang, niscaya Kyai Bisri Syansuri tidak akan melanjutkan langkah fenomenal yang telah dibuatnya. Hal ini semata-mata karena takdzimnya yang begitu mendalam kepada sang guru yang selalu dipanggilnya “kyai“.
Ahli dan Pecinta Fiqh
Karakter sebagai pecinta Fiqh terbentuk ketika Kyai Bisri nyantri kepada KH Kholil Bangkalan, dan semakin menguat setelah nyantri di Tebuireng. Kyai Bsiri memang sengaja mendalami pokok-pokok pengambilan hukum agama dalam fiqh, terutama literatur fiqh lama.
Tidak mengherankan jika Kyai Bisri begitu kukuh dalam memegangi kaidah-kaidah hukum fiqh, dan begitu teguh dalam mengkontekstualisasikan fiqh kepada kenyataan-kenyataan hidup secara baik.
Walaupun begitu, Kyai Bisri tidak kaku dan kolot dalam berinteraksi dengan masyarakat. Hal itu setidaknya terlihat dari upayanya dalam merintis pesantren yang dibangunnya di Denanyar.
Politisi Tangguh
Persinggungannya dengan politik praktis diawali ketika bergabung dengan Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) mewakili Masyumi, menjadi anggota Dewan Konstituante dan puncaknya ketika dipercaya menjadi Ketua Majelis Syuro PPP ketika NU secara formal tergabung dalam partai berlambang ka’bah itu.
Salah satu prestasi yang paling mengesankan, ketika Kyai Bisri Syansuri berhasil mendesakkan disyahkannya UU perkawinan hasil rancangannya bersama-sama ulama NU. Padahal sebelumnya pemerintah sudah membuat rancangan undang-undang perkawinan ke Dewan Perwakilan Rakyat.
Kini, masyarakat merindukan kembali hadirnya seorang “kyai plus“ seperti KH Bisri Syansuri. Kapankah kerinduan itu terobati. Wallahu a’lam. (Amn)
Sumber "KH Bisri Syansuri, Pecinta Hukum Fiqh sepanjang Hayat", KH Abdurahman Wahid, Majalah Amanah, 1989
yang letaknya
kira-kira 100 Km arah timur laut Semarang di Jawa Tengah, kawasan
pesisir Pantai Utara Jawa yang memiliki budaya sosial keagamaannya
sendiri sebagai sala
Copy the BEST Traders and Make Money : http://bit.ly/fxzulu
Copy the BEST Traders and Make Money : http://bit.ly/fxzulu
Tempat Kelahiran
Beliau lahir pada hari rabu, 28 Dzulhijjah 1304 H atau 18 September 1886
M di Tayu, sebuah ibukota kecamatan yang letaknya kira-kira 100 Km arah
timur laut Semarang di Jawa Tengah, kawasan pesisir Pantai Utara Jawa
yang memiliki budaya sosial keagamaannya sendiri sebagai salah satu
titik dalam jalur daerah yang penduduknya teguh memegang tradisi
keagamaan.
Tayu merupakan latar belakang geografi yang sangat mewarnai pandangan
hidup beliau di kemudian hari, dan sedikit banyak turut membentuk
kepribadiannya. Beliau memang lahir dalam tradisi keagamaan yang kuat
dari keturunan yang memiliki ulama bermutu tinggi, di pihak ibunya yang
dilahirkan dari keluarga besar di Lasem. Keluarga ibunya adalah keluarga
yang menurunkan beberapa ulama besar dalam berbagai generasi, seperti
almarhum K. H. Kholil Lasem dan almarhum K. H. Baidlowi Lasem. Hingga
saat ini pun masih merupakan suatu pesantren induk bagi banyak pesantren
lainnya, dan tidak heran jika tradisi yang demikian kuat kaitannya
dengan penguasaan ilmu agama Islam secara mendalam itu akan tumbuh
seorang agamawan yang kemudian akan menjadi salah seorang ulama besar
yang memberikan bekas tersendiri terhadap sejarah bangsa dan negara.
Asuhan di masa kecilnya
Beliau sebagaimana umumnya pada dunia anak-anak di waktu itu, yakni
jarang sekali mendapat asuhan yang cukup sempurna dari ayah dan ibunya,
sebab pada waktu itu orang lebih banyak yang senangmenyerahkan hal
pendidikan dan pengajaran anaknya pada masa atau zaman dari pada
berusaha sendiri membentuk jiwa anak tersebut dengan cara yang teratur
dan sisitematik, sebagaimana kita lihat banyak orang tua yang
menyerahkan pendidikan anaknya pada pondok dan lainnya. Beliau hidup
sebagaimana ahli fikir, ahli ilmu pengetahuan, hidup pada zaman kecilnya
di zaman purba juga, yakni sangat kurang dan jauh sekali dari
kecukupan, kalau dibandingkan dengan ukuran keperluan belajar
sebagaimana pada zaman sekarang.tetapi pada umumnya mereka orang-orang
dahulu itu hidup lebih tenteram dan tenang dari pada orang yang hidup
pada zaman modern ini.
C. Khazanah K. H. M. Bisri Syansuri
Seorang mukmin sejati pasti percaya bahwa ada yang mengatur perjalanan
hidup manusia, yaitu Dzat Yang Maha Berkehendak. Walaupun dalam
batas-batas tertentu Dzat Yang Maha Agung itu juga memberikan kewenangan
kepada manusia untuk menentukan jalan hidupnya sendiri.
Begitupun, Bisri Syansuri kecil tentu tidak akan pernah menyangka jika
pada akhirnya akan menjadi “orang“ di Denanyar Jombang, bahkan sampai
menjadi Rais Aam PBNU menggantikan kakak iparnya (KH Wahab Chasbullah)
yang harus terlebih dahulu menghadap Allah SWT.
Perjalanannya menuju Jombang diawali ketika pada usia 15 tahun, Bisri
Syansuri mulai keluar kandang untuk nyantri kepada Kyai Kholil di
Bangkalan Madura. Di sinilah Bisri Syansuri secara serius mendalami ilmu
Fiqh yang dikemudian hari menjadi trade mark-nya, dan sekaligus bertemu
dengan KH Wahab Chasbullah, washilah yang membawanya ke Jombang,
nyantri kepada Hadratussyaikh KH Hasyim Asy’ari selama enam tahun ,
sebelum memperdalam ilmu di tanah suci Makkah.
KH Bisri Syansuri muda memang tidak terlalu menonjolkan diri dalam
lingkungan pergaulannya. Bisri Syansuri muda lebih suka menghabiskan
waktu dengan rutinitas dan kebersamaan dengan teman-teman sebayanya
Walaupun demikian, KH Bisri Syansuri tetap mampu “ tampil menjadi
pelopor“ dalam jagat pendidikan pesantren. Setelah selama dua tahun
membantu mertuanya sembari belajar, KH Bisri Syansuri menetapkan pilihan
untuk hidup mandiri dan bertekad membangun pesantren di Denanyar
Jombang
KH Bisri Syansuri boleh disebut sebagai “kyai plus“. Dalam diri KH Bisri
Syansuri paling tidak melekat tiga karakter sekaligus. Yaitu sebagai
perintis kesetaraan gender dalam pendidikan di pesantren, seorang ahli
dan pecinta fiqh dan sekaligus seorang politisi.
Ketulusan Hati Beliau
Dalam segala tingkh laku dan tutur katanya namp;ak benar
betapa kebrsihannya, keikhlasan dan ketulusan beliau. Tidak pandang
siapa dan di mana tempatnya, kalau memang terdapat kekurangan pada
seseorang tentu beliau ajan menegurnya dengan hormat dan lemah lembut,
akan diingatkannya dengan sopan santun dan bijaksana. Akan diterima
secara baik atau tidak oleh yang diingatkan baginya sama saja. “diikuti
atau tidak itu adalah soal dia sendiri, saya hanya sekedar mempringatkan
kepada siapa saja yang sedang lupa”. Demikian lah sikap beliau setiap
malakukan kewajiban. Justru karena keikhlasan dan ketulusan beliau, maka
selalu mendapat penghargaan dari pihak yang diingatkan tadi. Karena
beliau tidak ingIn dipuji disegani dan ditakuti, tetapi hanya
sematamata ikhlas karena Allah.
Perintis Kesetaraan Gender
Rasanya tidak berlebihan kalau Kyai Bisri Syansuri disebut
sebagai pejuang kesetaraan gender, khususnya di kalangan pesantren.
Kyai Bisrilah orang pertama yang mendirikan kelas khusus untuk
santri-santri wanita di pesantren yang didirikannya. Walalupun baru
diikuti perempuan-perempuan di desanya
Di zaman yang masih kental dengan nilai-nilai patrimonial waktu itu, apa
yang dilakukan Kyai Bisri termasuk kategori “aneh“. Untung sang guru
yang sangat dihormatinya, hadratussyaikh KH Hasyim Asy’ari tidak
menentang terobosan yang dilakukannya. Kalau saja hadratussyaikh
melarang, niscaya Kyai Bisri Syansuri tidak akan melanjutkan langkah
fenomenal yang telah dibuatnya. Hal ini semata-mata karena takdzimnya
yang begitu mendalam kepada sang guru yang selalu dipanggilnya “kyai“.
Ahli dan Pecinta Fiqh
Karakter sebagai pecinta Fiqh terbentuk ketika Kyai Bisri nyantri kepada
KH Kholil Bangkalan, dan semakin menguat setelah nyantri di Tebuireng.
Kyai Bsiri memang sengaja mendalami pokok-pokok pengambilan hukum agama
dalam fiqh, terutama literatur fiqh lama.
Tidak mengherankan jika Kyai Bisri begitu kukuh dalam memegangi
kaidah-kaidah hukum fiqh, dan begitu teguh dalam mengkontekstualisasikan
fiqh kepada Kenyataan hidup secara baik
Walaupun begitu, Kyai Bisri tidak kaku dan kolot dalam
berinteraksi dengan masyarakat. Hal itu setidaknya terlihat dari
upayanya dalam merintis pesantren yang di bangunnya di Denanyar
Politisi Tangguh
Persinggungannya dengan politik praktis diawali ketika bergabung dengan
Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) mewakili Masyumi, menjadi anggota
Dewan Konstituante dan puncaknya ketika dipercaya menjadi Ketua Majelis
Syuro PPP ketika NU secara formal tergabung dalam partai berlambang
ka’bah itu.
Salah satu prestasi yang paling mengesankan, ketika Kyai Bisri Syansuri
berhasil mendesakkan disyahkannya UU perkawinan hasil rancangannya
bersama-sama ulama NU. Padahal sebelumnya pemerintah sudah membuat
rancangan undang-undang Perkawinan ke Dewan Perwakilan Rakyat.
Kini, masyarakat merindukan kembali hadirnya seorang “kyai plus“ seperti
KH Bisri Syansuri. Kapankah kerinduan itu terobati. Wallahu a’lam.
(Amn).
KESIMPULAN
Teori belajar atau pemikiran para Mu’allim zaman dahulu ssangatlahj
berbeda dengan Mu’allim zaman sekarang. Mungkin sepintas kita melihat di
zaman sekrang yang sudah maju banyak teori belajar yang beraneka ragam
dan katanya itu merupakan teori belajar yang pantas untuk diterapkan dan
dipraktekkan oleh seoarang pengajar kepada muridnya. Memang saya juga
mengakui mengakui demikian. Tetapi jika kita bendingkan dengan teori
belajar para guru zaman dahulu, apakah perbedaannya?.
Setelah saya membaca beberapa buku sejarah para tokoh zaman dahulu,
terutama tokoh-tokoh Islam Indonesia, saya melihat perbedaan yang paling
mencolok adalah dari segi bathiniyah Mu’allim, yakni ketulusan dan
keinkhlasan hati mereka.
Para Mu’allim zaman dahulu mungkin mereka belum mengenal teori belajar
atau mungkin teori pendidikan seperti pada zaman sekarang, tapi mereka
mengajar para muridnya semata-mata dengan niat mentranfer ilmu mereka
kepada muridnya, dan itu dilakaukan dengan keikhlasan dan ketulusan hati
mereka. Memang kita melihat mereka hanya mengajar dengan fasilitas yang
kurang memadai dan dengan ilmu yang mungkin terbatas sesuai dengan
mereka miliki, tapi hasil dari anak didik mereka ternyata malah banyak
memilki prestasi gemilang dan keilmuannya juga meyakinkan.
Dari sini saya merasa bahwa di zaman sekarang yang sudah maju dengan
teknologi dan keilmuannya akan menjadi lebih baik lagi apabila seorang
pendidik mengajar dengan teori-teori belajar yang baik dan disertai
bathiniah yang baik pula. Sehingga suasana belajar juga terasa lebih
nyaman dan selalu dibarengi dengan keharmonisan dan kebahagian di antara
mu’allim dan murid.
Copy the BEST Traders and Make Money : http://bit.ly/fxzulu
Copy the BEST Traders and Make Money : http://bit.ly/fxzulu
Tempat Kelahiran
Beliau lahir pada hari rabu, 28 Dzulhijjah 1304 H atau 18 September 1886
M di Tayu, sebuah ibukota kecamatan yang letaknya kira-kira 100 Km arah
timur laut Semarang di Jawa Tengah, kawasan pesisir Pantai Utara Jawa
yang memiliki budaya sosial keagamaannya sendiri sebagai salah satu
titik dalam jalur daerah yang penduduknya teguh memegang tradisi
keagamaan.
Tayu merupakan latar belakang geografi yang sangat mewarnai pandangan
hidup beliau di kemudian hari, dan sedikit banyak turut membentuk
kepribadiannya. Beliau memang lahir dalam tradisi keagamaan yang kuat
dari keturunan yang memiliki ulama bermutu tinggi, di pihak ibunya yang
dilahirkan dari keluarga besar di Lasem. Keluarga ibunya adalah keluarga
yang menurunkan beberapa ulama besar dalam berbagai generasi, seperti
almarhum K. H. Kholil Lasem dan almarhum K. H. Baidlowi Lasem. Hingga
saat ini pun masih merupakan suatu pesantren induk bagi banyak pesantren
lainnya, dan tidak heran jika tradisi yang demikian kuat kaitannya
dengan penguasaan ilmu agama Islam secara mendalam itu akan tumbuh
seorang agamawan yang kemudian akan menjadi salah seorang ulama besar
yang memberikan bekas tersendiri terhadap sejarah bangsa dan negara.
Asuhan di masa kecilnya
Beliau sebagaimana umumnya pada dunia anak-anak di waktu itu, yakni
jarang sekali mendapat asuhan yang cukup sempurna dari ayah dan ibunya,
sebab pada waktu itu orang lebih banyak yang senangmenyerahkan hal
pendidikan dan pengajaran anaknya pada masa atau zaman dari pada
berusaha sendiri membentuk jiwa anak tersebut dengan cara yang teratur
dan sisitematik, sebagaimana kita lihat banyak orang tua yang
menyerahkan pendidikan anaknya pada pondok dan lainnya. Beliau hidup
sebagaimana ahli fikir, ahli ilmu pengetahuan, hidup pada zaman kecilnya
di zaman purba juga, yakni sangat kurang dan jauh sekali dari
kecukupan, kalau dibandingkan dengan ukuran keperluan belajar
sebagaimana pada zaman sekarang.tetapi pada umumnya mereka orang-orang
dahulu itu hidup lebih tenteram dan tenang dari pada orang yang hidup
pada zaman modern ini.
C. Khazanah K. H. M. Bisri Syansuri
Seorang mukmin sejati pasti percaya bahwa ada yang mengatur perjalanan
hidup manusia, yaitu Dzat Yang Maha Berkehendak. Walaupun dalam
batas-batas tertentu Dzat Yang Maha Agung itu juga memberikan kewenangan
kepada manusia untuk menentukan jalan hidupnya sendiri.
Begitupun, Bisri Syansuri kecil tentu tidak akan pernah menyangka jika
pada akhirnya akan menjadi “orang“ di Denanyar Jombang, bahkan sampai
menjadi Rais Aam PBNU menggantikan kakak iparnya (KH Wahab Chasbullah)
yang harus terlebih dahulu menghadap Allah SWT.
Perjalanannya menuju Jombang diawali ketika pada usia 15 tahun, Bisri
Syansuri mulai keluar kandang untuk nyantri kepada Kyai Kholil di
Bangkalan Madura. Di sinilah Bisri Syansuri secara serius mendalami ilmu
Fiqh yang dikemudian hari menjadi trade mark-nya, dan sekaligus bertemu
dengan KH Wahab Chasbullah, washilah yang membawanya ke Jombang,
nyantri kepada Hadratussyaikh KH Hasyim Asy’ari selama enam tahun ,
sebelum memperdalam ilmu di tanah suci Makkah.
KH Bisri Syansuri muda memang tidak terlalu menonjolkan diri dalam
lingkungan pergaulannya. Bisri Syansuri muda lebih suka menghabiskan
waktu dengan rutinitas dan kebersamaan dengan teman-teman sebayanya
Walaupun demikian, KH Bisri Syansuri tetap mampu “ tampil menjadi
pelopor“ dalam jagat pendidikan pesantren. Setelah selama dua tahun
membantu mertuanya sembari belajar, KH Bisri Syansuri menetapkan pilihan
untuk hidup mandiri dan bertekad membangun pesantren di Denanyar
Jombang
KH Bisri Syansuri boleh disebut sebagai “kyai plus“. Dalam diri KH Bisri
Syansuri paling tidak melekat tiga karakter sekaligus. Yaitu sebagai
perintis kesetaraan gender dalam pendidikan di pesantren, seorang ahli
dan pecinta fiqh dan sekaligus seorang politisi.
Ketulusan Hati Beliau
Dalam segala tingkh laku dan tutur katanya namp;ak benar
betapa kebrsihannya, keikhlasan dan ketulusan beliau. Tidak pandang
siapa dan di mana tempatnya, kalau memang terdapat kekurangan pada
seseorang tentu beliau ajan menegurnya dengan hormat dan lemah lembut,
akan diingatkannya dengan sopan santun dan bijaksana. Akan diterima
secara baik atau tidak oleh yang diingatkan baginya sama saja. “diikuti
atau tidak itu adalah soal dia sendiri, saya hanya sekedar mempringatkan
kepada siapa saja yang sedang lupa”. Demikian lah sikap beliau setiap
malakukan kewajiban. Justru karena keikhlasan dan ketulusan beliau, maka
selalu mendapat penghargaan dari pihak yang diingatkan tadi. Karena
beliau tidak ingIn dipuji disegani dan ditakuti, tetapi hanya
sematamata ikhlas karena Allah.
Perintis Kesetaraan Gender
Rasanya tidak berlebihan kalau Kyai Bisri Syansuri disebut
sebagai pejuang kesetaraan gender, khususnya di kalangan pesantren.
Kyai Bisrilah orang pertama yang mendirikan kelas khusus untuk
santri-santri wanita di pesantren yang didirikannya. Walalupun baru
diikuti perempuan-perempuan di desanya
Di zaman yang masih kental dengan nilai-nilai patrimonial waktu itu, apa
yang dilakukan Kyai Bisri termasuk kategori “aneh“. Untung sang guru
yang sangat dihormatinya, hadratussyaikh KH Hasyim Asy’ari tidak
menentang terobosan yang dilakukannya. Kalau saja hadratussyaikh
melarang, niscaya Kyai Bisri Syansuri tidak akan melanjutkan langkah
fenomenal yang telah dibuatnya. Hal ini semata-mata karena takdzimnya
yang begitu mendalam kepada sang guru yang selalu dipanggilnya “kyai“.
Ahli dan Pecinta Fiqh
Karakter sebagai pecinta Fiqh terbentuk ketika Kyai Bisri nyantri kepada
KH Kholil Bangkalan, dan semakin menguat setelah nyantri di Tebuireng.
Kyai Bsiri memang sengaja mendalami pokok-pokok pengambilan hukum agama
dalam fiqh, terutama literatur fiqh lama.
Tidak mengherankan jika Kyai Bisri begitu kukuh dalam memegangi
kaidah-kaidah hukum fiqh, dan begitu teguh dalam mengkontekstualisasikan
fiqh kepada Kenyataan hidup secara baik
Walaupun begitu, Kyai Bisri tidak kaku dan kolot dalam
berinteraksi dengan masyarakat. Hal itu setidaknya terlihat dari
upayanya dalam merintis pesantren yang di bangunnya di Denanyar
Politisi Tangguh
Persinggungannya dengan politik praktis diawali ketika bergabung dengan
Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) mewakili Masyumi, menjadi anggota
Dewan Konstituante dan puncaknya ketika dipercaya menjadi Ketua Majelis
Syuro PPP ketika NU secara formal tergabung dalam partai berlambang
ka’bah itu.
Salah satu prestasi yang paling mengesankan, ketika Kyai Bisri Syansuri
berhasil mendesakkan disyahkannya UU perkawinan hasil rancangannya
bersama-sama ulama NU. Padahal sebelumnya pemerintah sudah membuat
rancangan undang-undang Perkawinan ke Dewan Perwakilan Rakyat.
Kini, masyarakat merindukan kembali hadirnya seorang “kyai plus“ seperti
KH Bisri Syansuri. Kapankah kerinduan itu terobati. Wallahu a’lam.
(Amn).
KESIMPULAN
Teori belajar atau pemikiran para Mu’allim zaman dahulu ssangatlahj
berbeda dengan Mu’allim zaman sekarang. Mungkin sepintas kita melihat di
zaman sekrang yang sudah maju banyak teori belajar yang beraneka ragam
dan katanya itu merupakan teori belajar yang pantas untuk diterapkan dan
dipraktekkan oleh seoarang pengajar kepada muridnya. Memang saya juga
mengakui mengakui demikian. Tetapi jika kita bendingkan dengan teori
belajar para guru zaman dahulu, apakah perbedaannya?.
Setelah saya membaca beberapa buku sejarah para tokoh zaman dahulu,
terutama tokoh-tokoh Islam Indonesia, saya melihat perbedaan yang paling
mencolok adalah dari segi bathiniyah Mu’allim, yakni ketulusan dan
keinkhlasan hati mereka.
Para Mu’allim zaman dahulu mungkin mereka belum mengenal teori belajar
atau mungkin teori pendidikan seperti pada zaman sekarang, tapi mereka
mengajar para muridnya semata-mata dengan niat mentranfer ilmu mereka
kepada muridnya, dan itu dilakaukan dengan keikhlasan dan ketulusan hati
mereka. Memang kita melihat mereka hanya mengajar dengan fasilitas yang
kurang memadai dan dengan ilmu yang mungkin terbatas sesuai dengan
mereka miliki, tapi hasil dari anak didik mereka ternyata malah banyak
memilki prestasi gemilang dan keilmuannya juga meyakinkan.
Dari sini saya merasa bahwa di zaman sekarang yang sudah maju dengan
teknologi dan keilmuannya akan menjadi lebih baik lagi apabila seorang
pendidik mengajar dengan teori-teori belajar yang baik dan disertai
bathiniah yang baik pula. Sehingga suasana belajar juga terasa lebih
nyaman dan selalu dibarengi dengan keharmonisan dan kebahagian di antara
mu’allim dan murid.
REFERENSI
Masyhuri, Abd Aziz. Al-Maghfurlah K. H. M. Bisri Syansuri Cita-cita
dan pengabdiannya. PP. Aziziyah: Jombang.
Sumber "KH Bisri Syansuri, Pecinta Hukum Fiqh sepanjang Hayat", KH
Abdurahman Wahid, Majalah Amanah 1989.
Copy the BEST Traders and Make Money : http://bit.ly/fxzulu
Copy the BEST Traders and Make Money : http://bit.ly/fxzulu
Tempat Kelahiran
Beliau lahir pada hari rabu, 28 Dzulhijjah 1304 H atau 18 September 1886
M di Tayu, sebuah ibukota kecamatan yang letaknya kira-kira 100 Km arah
timur laut Semarang di Jawa Tengah, kawasan pesisir Pantai Utara Jawa
yang memiliki budaya sosial keagamaannya sendiri sebagai salah satu
titik dalam jalur daerah yang penduduknya teguh memegang tradisi
keagamaan.
Tayu merupakan latar belakang geografi yang sangat mewarnai pandangan
hidup beliau di kemudian hari, dan sedikit banyak turut membentuk
kepribadiannya. Beliau memang lahir dalam tradisi keagamaan yang kuat
dari keturunan yang memiliki ulama bermutu tinggi, di pihak ibunya yang
dilahirkan dari keluarga besar di Lasem. Keluarga ibunya adalah keluarga
yang menurunkan beberapa ulama besar dalam berbagai generasi, seperti
almarhum K. H. Kholil Lasem dan almarhum K. H. Baidlowi Lasem. Hingga
saat ini pun masih merupakan suatu pesantren induk bagi banyak pesantren
lainnya, dan tidak heran jika tradisi yang demikian kuat kaitannya
dengan penguasaan ilmu agama Islam secara mendalam itu akan tumbuh
seorang agamawan yang kemudian akan menjadi salah seorang ulama besar
yang memberikan bekas tersendiri terhadap sejarah bangsa dan negara.
Asuhan di masa kecilnya
Beliau sebagaimana umumnya pada dunia anak-anak di waktu itu, yakni
jarang sekali mendapat asuhan yang cukup sempurna dari ayah dan ibunya,
sebab pada waktu itu orang lebih banyak yang senangmenyerahkan hal
pendidikan dan pengajaran anaknya pada masa atau zaman dari pada
berusaha sendiri membentuk jiwa anak tersebut dengan cara yang teratur
dan sisitematik, sebagaimana kita lihat banyak orang tua yang
menyerahkan pendidikan anaknya pada pondok dan lainnya. Beliau hidup
sebagaimana ahli fikir, ahli ilmu pengetahuan, hidup pada zaman kecilnya
di zaman purba juga, yakni sangat kurang dan jauh sekali dari
kecukupan, kalau dibandingkan dengan ukuran keperluan belajar
sebagaimana pada zaman sekarang.tetapi pada umumnya mereka orang-orang
dahulu itu hidup lebih tenteram dan tenang dari pada orang yang hidup
pada zaman modern ini.
C. Khazanah K. H. M. Bisri Syansuri
Seorang mukmin sejati pasti percaya bahwa ada yang mengatur perjalanan
hidup manusia, yaitu Dzat Yang Maha Berkehendak. Walaupun dalam
batas-batas tertentu Dzat Yang Maha Agung itu juga memberikan kewenangan
kepada manusia untuk menentukan jalan hidupnya sendiri.
Begitupun, Bisri Syansuri kecil tentu tidak akan pernah menyangka jika
pada akhirnya akan menjadi “orang“ di Denanyar Jombang, bahkan sampai
menjadi Rais Aam PBNU menggantikan kakak iparnya (KH Wahab Chasbullah)
yang harus terlebih dahulu menghadap Allah SWT.
Perjalanannya menuju Jombang diawali ketika pada usia 15 tahun, Bisri
Syansuri mulai keluar kandang untuk nyantri kepada Kyai Kholil di
Bangkalan Madura. Di sinilah Bisri Syansuri secara serius mendalami ilmu
Fiqh yang dikemudian hari menjadi trade mark-nya, dan sekaligus bertemu
dengan KH Wahab Chasbullah, washilah yang membawanya ke Jombang,
nyantri kepada Hadratussyaikh KH Hasyim Asy’ari selama enam tahun ,
sebelum memperdalam ilmu di tanah suci Makkah.
KH Bisri Syansuri muda memang tidak terlalu menonjolkan diri dalam
lingkungan pergaulannya. Bisri Syansuri muda lebih suka menghabiskan
waktu dengan rutinitas dan kebersamaan dengan teman-teman sebayanya
Walaupun demikian, KH Bisri Syansuri tetap mampu “ tampil menjadi
pelopor“ dalam jagat pendidikan pesantren. Setelah selama dua tahun
membantu mertuanya sembari belajar, KH Bisri Syansuri menetapkan pilihan
untuk hidup mandiri dan bertekad membangun pesantren di Denanyar
Jombang
KH Bisri Syansuri boleh disebut sebagai “kyai plus“. Dalam diri KH Bisri
Syansuri paling tidak melekat tiga karakter sekaligus. Yaitu sebagai
perintis kesetaraan gender dalam pendidikan di pesantren, seorang ahli
dan pecinta fiqh dan sekaligus seorang politisi.
Ketulusan Hati Beliau
Dalam segala tingkh laku dan tutur katanya namp;ak benar
betapa kebrsihannya, keikhlasan dan ketulusan beliau. Tidak pandang
siapa dan di mana tempatnya, kalau memang terdapat kekurangan pada
seseorang tentu beliau ajan menegurnya dengan hormat dan lemah lembut,
akan diingatkannya dengan sopan santun dan bijaksana. Akan diterima
secara baik atau tidak oleh yang diingatkan baginya sama saja. “diikuti
atau tidak itu adalah soal dia sendiri, saya hanya sekedar mempringatkan
kepada siapa saja yang sedang lupa”. Demikian lah sikap beliau setiap
malakukan kewajiban. Justru karena keikhlasan dan ketulusan beliau, maka
selalu mendapat penghargaan dari pihak yang diingatkan tadi. Karena
beliau tidak ingIn dipuji disegani dan ditakuti, tetapi hanya
sematamata ikhlas karena Allah.
Perintis Kesetaraan Gender
Rasanya tidak berlebihan kalau Kyai Bisri Syansuri disebut
sebagai pejuang kesetaraan gender, khususnya di kalangan pesantren.
Kyai Bisrilah orang pertama yang mendirikan kelas khusus untuk
santri-santri wanita di pesantren yang didirikannya. Walalupun baru
diikuti perempuan-perempuan di desanya
Di zaman yang masih kental dengan nilai-nilai patrimonial waktu itu, apa
yang dilakukan Kyai Bisri termasuk kategori “aneh“. Untung sang guru
yang sangat dihormatinya, hadratussyaikh KH Hasyim Asy’ari tidak
menentang terobosan yang dilakukannya. Kalau saja hadratussyaikh
melarang, niscaya Kyai Bisri Syansuri tidak akan melanjutkan langkah
fenomenal yang telah dibuatnya. Hal ini semata-mata karena takdzimnya
yang begitu mendalam kepada sang guru yang selalu dipanggilnya “kyai“.
Ahli dan Pecinta Fiqh
Karakter sebagai pecinta Fiqh terbentuk ketika Kyai Bisri nyantri kepada
KH Kholil Bangkalan, dan semakin menguat setelah nyantri di Tebuireng.
Kyai Bsiri memang sengaja mendalami pokok-pokok pengambilan hukum agama
dalam fiqh, terutama literatur fiqh lama.
Tidak mengherankan jika Kyai Bisri begitu kukuh dalam memegangi
kaidah-kaidah hukum fiqh, dan begitu teguh dalam mengkontekstualisasikan
fiqh kepada Kenyataan hidup secara baik
Walaupun begitu, Kyai Bisri tidak kaku dan kolot dalam
berinteraksi dengan masyarakat. Hal itu setidaknya terlihat dari
upayanya dalam merintis pesantren yang di bangunnya di Denanyar
Politisi Tangguh
Persinggungannya dengan politik praktis diawali ketika bergabung dengan
Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) mewakili Masyumi, menjadi anggota
Dewan Konstituante dan puncaknya ketika dipercaya menjadi Ketua Majelis
Syuro PPP ketika NU secara formal tergabung dalam partai berlambang
ka’bah itu.
Salah satu prestasi yang paling mengesankan, ketika Kyai Bisri Syansuri
berhasil mendesakkan disyahkannya UU perkawinan hasil rancangannya
bersama-sama ulama NU. Padahal sebelumnya pemerintah sudah membuat
rancangan undang-undang Perkawinan ke Dewan Perwakilan Rakyat.
Kini, masyarakat merindukan kembali hadirnya seorang “kyai plus“ seperti
KH Bisri Syansuri. Kapankah kerinduan itu terobati. Wallahu a’lam.
(Amn).
KESIMPULAN
Teori belajar atau pemikiran para Mu’allim zaman dahulu ssangatlahj
berbeda dengan Mu’allim zaman sekarang. Mungkin sepintas kita melihat di
zaman sekrang yang sudah maju banyak teori belajar yang beraneka ragam
dan katanya itu merupakan teori belajar yang pantas untuk diterapkan dan
dipraktekkan oleh seoarang pengajar kepada muridnya. Memang saya juga
mengakui mengakui demikian. Tetapi jika kita bendingkan dengan teori
belajar para guru zaman dahulu, apakah perbedaannya?.
Setelah saya membaca beberapa buku sejarah para tokoh zaman dahulu,
terutama tokoh-tokoh Islam Indonesia, saya melihat perbedaan yang paling
mencolok adalah dari segi bathiniyah Mu’allim, yakni ketulusan dan
keinkhlasan hati mereka.
Para Mu’allim zaman dahulu mungkin mereka belum mengenal teori belajar
atau mungkin teori pendidikan seperti pada zaman sekarang, tapi mereka
mengajar para muridnya semata-mata dengan niat mentranfer ilmu mereka
kepada muridnya, dan itu dilakaukan dengan keikhlasan dan ketulusan hati
mereka. Memang kita melihat mereka hanya mengajar dengan fasilitas yang
kurang memadai dan dengan ilmu yang mungkin terbatas sesuai dengan
mereka miliki, tapi hasil dari anak didik mereka ternyata malah banyak
memilki prestasi gemilang dan keilmuannya juga meyakinkan.
Dari sini saya merasa bahwa di zaman sekarang yang sudah maju dengan
teknologi dan keilmuannya akan menjadi lebih baik lagi apabila seorang
pendidik mengajar dengan teori-teori belajar yang baik dan disertai
bathiniah yang baik pula. Sehingga suasana belajar juga terasa lebih
nyaman dan selalu dibarengi dengan keharmonisan dan kebahagian di antara
mu’allim dan murid.
REFERENSI
Masyhuri, Abd Aziz. Al-Maghfurlah K. H. M. Bisri Syansuri Cita-cita
dan pengabdiannya. PP. Aziziyah: Jombang.
Sumber "KH Bisri Syansuri, Pecinta Hukum Fiqh sepanjang Hayat", KH
Abdurahman Wahid, Majalah Amanah 1989.
Copy the BEST Traders and Make Money : http://bit.ly/fxzulu
Copy the BEST Traders and Make Money : http://bit.ly/fxzulu
Tempat Kelahiran
Beliau lahir pada hari rabu, 28 Dzulhijjah 1304 H atau 18 September 1886
M di Tayu, sebuah ibukota kecamatan yang letaknya kira-kira 100 Km arah
timur laut Semarang di Jawa Tengah, kawasan pesisir Pantai Utara Jawa
yang memiliki budaya sosial keagamaannya sendiri sebagai salah satu
titik dalam jalur daerah yang penduduknya teguh memegang tradisi
keagamaan.
Tayu merupakan latar belakang geografi yang sangat mewarnai pandangan
hidup beliau di kemudian hari, dan sedikit banyak turut membentuk
kepribadiannya. Beliau memang lahir dalam tradisi keagamaan yang kuat
dari keturunan yang memiliki ulama bermutu tinggi, di pihak ibunya yang
dilahirkan dari keluarga besar di Lasem. Keluarga ibunya adalah keluarga
yang menurunkan beberapa ulama besar dalam berbagai generasi, seperti
almarhum K. H. Kholil Lasem dan almarhum K. H. Baidlowi Lasem. Hingga
saat ini pun masih merupakan suatu pesantren induk bagi banyak pesantren
lainnya, dan tidak heran jika tradisi yang demikian kuat kaitannya
dengan penguasaan ilmu agama Islam secara mendalam itu akan tumbuh
seorang agamawan yang kemudian akan menjadi salah seorang ulama besar
yang memberikan bekas tersendiri terhadap sejarah bangsa dan negara.
Asuhan di masa kecilnya
Beliau sebagaimana umumnya pada dunia anak-anak di waktu itu, yakni
jarang sekali mendapat asuhan yang cukup sempurna dari ayah dan ibunya,
sebab pada waktu itu orang lebih banyak yang senangmenyerahkan hal
pendidikan dan pengajaran anaknya pada masa atau zaman dari pada
berusaha sendiri membentuk jiwa anak tersebut dengan cara yang teratur
dan sisitematik, sebagaimana kita lihat banyak orang tua yang
menyerahkan pendidikan anaknya pada pondok dan lainnya. Beliau hidup
sebagaimana ahli fikir, ahli ilmu pengetahuan, hidup pada zaman kecilnya
di zaman purba juga, yakni sangat kurang dan jauh sekali dari
kecukupan, kalau dibandingkan dengan ukuran keperluan belajar
sebagaimana pada zaman sekarang.tetapi pada umumnya mereka orang-orang
dahulu itu hidup lebih tenteram dan tenang dari pada orang yang hidup
pada zaman modern ini.
C. Khazanah K. H. M. Bisri Syansuri
Seorang mukmin sejati pasti percaya bahwa ada yang mengatur perjalanan
hidup manusia, yaitu Dzat Yang Maha Berkehendak. Walaupun dalam
batas-batas tertentu Dzat Yang Maha Agung itu juga memberikan kewenangan
kepada manusia untuk menentukan jalan hidupnya sendiri.
Begitupun, Bisri Syansuri kecil tentu tidak akan pernah menyangka jika
pada akhirnya akan menjadi “orang“ di Denanyar Jombang, bahkan sampai
menjadi Rais Aam PBNU menggantikan kakak iparnya (KH Wahab Chasbullah)
yang harus terlebih dahulu menghadap Allah SWT.
Perjalanannya menuju Jombang diawali ketika pada usia 15 tahun, Bisri
Syansuri mulai keluar kandang untuk nyantri kepada Kyai Kholil di
Bangkalan Madura. Di sinilah Bisri Syansuri secara serius mendalami ilmu
Fiqh yang dikemudian hari menjadi trade mark-nya, dan sekaligus bertemu
dengan KH Wahab Chasbullah, washilah yang membawanya ke Jombang,
nyantri kepada Hadratussyaikh KH Hasyim Asy’ari selama enam tahun ,
sebelum memperdalam ilmu di tanah suci Makkah.
KH Bisri Syansuri muda memang tidak terlalu menonjolkan diri dalam
lingkungan pergaulannya. Bisri Syansuri muda lebih suka menghabiskan
waktu dengan rutinitas dan kebersamaan dengan teman-teman sebayanya
Walaupun demikian, KH Bisri Syansuri tetap mampu “ tampil menjadi
pelopor“ dalam jagat pendidikan pesantren. Setelah selama dua tahun
membantu mertuanya sembari belajar, KH Bisri Syansuri menetapkan pilihan
untuk hidup mandiri dan bertekad membangun pesantren di Denanyar
Jombang
KH Bisri Syansuri boleh disebut sebagai “kyai plus“. Dalam diri KH Bisri
Syansuri paling tidak melekat tiga karakter sekaligus. Yaitu sebagai
perintis kesetaraan gender dalam pendidikan di pesantren, seorang ahli
dan pecinta fiqh dan sekaligus seorang politisi.
Ketulusan Hati Beliau
Dalam segala tingkh laku dan tutur katanya namp;ak benar
betapa kebrsihannya, keikhlasan dan ketulusan beliau. Tidak pandang
siapa dan di mana tempatnya, kalau memang terdapat kekurangan pada
seseorang tentu beliau ajan menegurnya dengan hormat dan lemah lembut,
akan diingatkannya dengan sopan santun dan bijaksana. Akan diterima
secara baik atau tidak oleh yang diingatkan baginya sama saja. “diikuti
atau tidak itu adalah soal dia sendiri, saya hanya sekedar mempringatkan
kepada siapa saja yang sedang lupa”. Demikian lah sikap beliau setiap
malakukan kewajiban. Justru karena keikhlasan dan ketulusan beliau, maka
selalu mendapat penghargaan dari pihak yang diingatkan tadi. Karena
beliau tidak ingIn dipuji disegani dan ditakuti, tetapi hanya
sematamata ikhlas karena Allah.
Perintis Kesetaraan Gender
Rasanya tidak berlebihan kalau Kyai Bisri Syansuri disebut
sebagai pejuang kesetaraan gender, khususnya di kalangan pesantren.
Kyai Bisrilah orang pertama yang mendirikan kelas khusus untuk
santri-santri wanita di pesantren yang didirikannya. Walalupun baru
diikuti perempuan-perempuan di desanya
Di zaman yang masih kental dengan nilai-nilai patrimonial waktu itu, apa
yang dilakukan Kyai Bisri termasuk kategori “aneh“. Untung sang guru
yang sangat dihormatinya, hadratussyaikh KH Hasyim Asy’ari tidak
menentang terobosan yang dilakukannya. Kalau saja hadratussyaikh
melarang, niscaya Kyai Bisri Syansuri tidak akan melanjutkan langkah
fenomenal yang telah dibuatnya. Hal ini semata-mata karena takdzimnya
yang begitu mendalam kepada sang guru yang selalu dipanggilnya “kyai“.
Ahli dan Pecinta Fiqh
Karakter sebagai pecinta Fiqh terbentuk ketika Kyai Bisri nyantri kepada
KH Kholil Bangkalan, dan semakin menguat setelah nyantri di Tebuireng.
Kyai Bsiri memang sengaja mendalami pokok-pokok pengambilan hukum agama
dalam fiqh, terutama literatur fiqh lama.
Tidak mengherankan jika Kyai Bisri begitu kukuh dalam memegangi
kaidah-kaidah hukum fiqh, dan begitu teguh dalam mengkontekstualisasikan
fiqh kepada Kenyataan hidup secara baik
Walaupun begitu, Kyai Bisri tidak kaku dan kolot dalam
berinteraksi dengan masyarakat. Hal itu setidaknya terlihat dari
upayanya dalam merintis pesantren yang di bangunnya di Denanyar
Politisi Tangguh
Persinggungannya dengan politik praktis diawali ketika bergabung dengan
Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) mewakili Masyumi, menjadi anggota
Dewan Konstituante dan puncaknya ketika dipercaya menjadi Ketua Majelis
Syuro PPP ketika NU secara formal tergabung dalam partai berlambang
ka’bah itu.
Salah satu prestasi yang paling mengesankan, ketika Kyai Bisri Syansuri
berhasil mendesakkan disyahkannya UU perkawinan hasil rancangannya
bersama-sama ulama NU. Padahal sebelumnya pemerintah sudah membuat
rancangan undang-undang Perkawinan ke Dewan Perwakilan Rakyat.
Kini, masyarakat merindukan kembali hadirnya seorang “kyai plus“ seperti
KH Bisri Syansuri. Kapankah kerinduan itu terobati. Wallahu a’lam.
(Amn).
KESIMPULAN
Teori belajar atau pemikiran para Mu’allim zaman dahulu ssangatlahj
berbeda dengan Mu’allim zaman sekarang. Mungkin sepintas kita melihat di
zaman sekrang yang sudah maju banyak teori belajar yang beraneka ragam
dan katanya itu merupakan teori belajar yang pantas untuk diterapkan dan
dipraktekkan oleh seoarang pengajar kepada muridnya. Memang saya juga
mengakui mengakui demikian. Tetapi jika kita bendingkan dengan teori
belajar para guru zaman dahulu, apakah perbedaannya?.
Setelah saya membaca beberapa buku sejarah para tokoh zaman dahulu,
terutama tokoh-tokoh Islam Indonesia, saya melihat perbedaan yang paling
mencolok adalah dari segi bathiniyah Mu’allim, yakni ketulusan dan
keinkhlasan hati mereka.
Para Mu’allim zaman dahulu mungkin mereka belum mengenal teori belajar
atau mungkin teori pendidikan seperti pada zaman sekarang, tapi mereka
mengajar para muridnya semata-mata dengan niat mentranfer ilmu mereka
kepada muridnya, dan itu dilakaukan dengan keikhlasan dan ketulusan hati
mereka. Memang kita melihat mereka hanya mengajar dengan fasilitas yang
kurang memadai dan dengan ilmu yang mungkin terbatas sesuai dengan
mereka miliki, tapi hasil dari anak didik mereka ternyata malah banyak
memilki prestasi gemilang dan keilmuannya juga meyakinkan.
Dari sini saya merasa bahwa di zaman sekarang yang sudah maju dengan
teknologi dan keilmuannya akan menjadi lebih baik lagi apabila seorang
pendidik mengajar dengan teori-teori belajar yang baik dan disertai
bathiniah yang baik pula. Sehingga suasana belajar juga terasa lebih
nyaman dan selalu dibarengi dengan keharmonisan dan kebahagian di antara
mu’allim dan murid.
REFERENSI
Masyhuri, Abd Aziz. Al-Maghfurlah K. H. M. Bisri Syansuri Cita-cita
dan pengabdiannya. PP. Aziziyah: Jombang.
Sumber "KH Bisri Syansuri, Pecinta Hukum Fiqh sepanjang Hayat", KH
Abdurahman Wahid, Majalah Amanah 1989.
Copy the BEST Traders and Make Money : http://bit.ly/fxzulu
Copy the BEST Traders and Make Money : http://bit.ly/fxzulu
Tempat Kelahiran
Beliau lahir pada hari rabu, 28 Dzulhijjah 1304 H atau 18 September 1886
M di Tayu, sebuah ibukota kecamatan yang letaknya kira-kira 100 Km arah
timur laut Semarang di Jawa Tengah, kawasan pesisir Pantai Utara Jawa
yang memiliki budaya sosial keagamaannya sendiri sebagai salah satu
titik dalam jalur daerah yang penduduknya teguh memegang tradisi
keagamaan.
Tayu merupakan latar belakang geografi yang sangat mewarnai pandangan
hidup beliau di kemudian hari, dan sedikit banyak turut membentuk
kepribadiannya. Beliau memang lahir dalam tradisi keagamaan yang kuat
dari keturunan yang memiliki ulama bermutu tinggi, di pihak ibunya yang
dilahirkan dari keluarga besar di Lasem. Keluarga ibunya adalah keluarga
yang menurunkan beberapa ulama besar dalam berbagai generasi, seperti
almarhum K. H. Kholil Lasem dan almarhum K. H. Baidlowi Lasem. Hingga
saat ini pun masih merupakan suatu pesantren induk bagi banyak pesantren
lainnya, dan tidak heran jika tradisi yang demikian kuat kaitannya
dengan penguasaan ilmu agama Islam secara mendalam itu akan tumbuh
seorang agamawan yang kemudian akan menjadi salah seorang ulama besar
yang memberikan bekas tersendiri terhadap sejarah bangsa dan negara.
Asuhan di masa kecilnya
Beliau sebagaimana umumnya pada dunia anak-anak di waktu itu, yakni
jarang sekali mendapat asuhan yang cukup sempurna dari ayah dan ibunya,
sebab pada waktu itu orang lebih banyak yang senangmenyerahkan hal
pendidikan dan pengajaran anaknya pada masa atau zaman dari pada
berusaha sendiri membentuk jiwa anak tersebut dengan cara yang teratur
dan sisitematik, sebagaimana kita lihat banyak orang tua yang
menyerahkan pendidikan anaknya pada pondok dan lainnya. Beliau hidup
sebagaimana ahli fikir, ahli ilmu pengetahuan, hidup pada zaman kecilnya
di zaman purba juga, yakni sangat kurang dan jauh sekali dari
kecukupan, kalau dibandingkan dengan ukuran keperluan belajar
sebagaimana pada zaman sekarang.tetapi pada umumnya mereka orang-orang
dahulu itu hidup lebih tenteram dan tenang dari pada orang yang hidup
pada zaman modern ini.
C. Khazanah K. H. M. Bisri Syansuri
Seorang mukmin sejati pasti percaya bahwa ada yang mengatur perjalanan
hidup manusia, yaitu Dzat Yang Maha Berkehendak. Walaupun dalam
batas-batas tertentu Dzat Yang Maha Agung itu juga memberikan kewenangan
kepada manusia untuk menentukan jalan hidupnya sendiri.
Begitupun, Bisri Syansuri kecil tentu tidak akan pernah menyangka jika
pada akhirnya akan menjadi “orang“ di Denanyar Jombang, bahkan sampai
menjadi Rais Aam PBNU menggantikan kakak iparnya (KH Wahab Chasbullah)
yang harus terlebih dahulu menghadap Allah SWT.
Perjalanannya menuju Jombang diawali ketika pada usia 15 tahun, Bisri
Syansuri mulai keluar kandang untuk nyantri kepada Kyai Kholil di
Bangkalan Madura. Di sinilah Bisri Syansuri secara serius mendalami ilmu
Fiqh yang dikemudian hari menjadi trade mark-nya, dan sekaligus bertemu
dengan KH Wahab Chasbullah, washilah yang membawanya ke Jombang,
nyantri kepada Hadratussyaikh KH Hasyim Asy’ari selama enam tahun ,
sebelum memperdalam ilmu di tanah suci Makkah.
KH Bisri Syansuri muda memang tidak terlalu menonjolkan diri dalam
lingkungan pergaulannya. Bisri Syansuri muda lebih suka menghabiskan
waktu dengan rutinitas dan kebersamaan dengan teman-teman sebayanya
Walaupun demikian, KH Bisri Syansuri tetap mampu “ tampil menjadi
pelopor“ dalam jagat pendidikan pesantren. Setelah selama dua tahun
membantu mertuanya sembari belajar, KH Bisri Syansuri menetapkan pilihan
untuk hidup mandiri dan bertekad membangun pesantren di Denanyar
Jombang
KH Bisri Syansuri boleh disebut sebagai “kyai plus“. Dalam diri KH Bisri
Syansuri paling tidak melekat tiga karakter sekaligus. Yaitu sebagai
perintis kesetaraan gender dalam pendidikan di pesantren, seorang ahli
dan pecinta fiqh dan sekaligus seorang politisi.
Ketulusan Hati Beliau
Dalam segala tingkh laku dan tutur katanya namp;ak benar
betapa kebrsihannya, keikhlasan dan ketulusan beliau. Tidak pandang
siapa dan di mana tempatnya, kalau memang terdapat kekurangan pada
seseorang tentu beliau ajan menegurnya dengan hormat dan lemah lembut,
akan diingatkannya dengan sopan santun dan bijaksana. Akan diterima
secara baik atau tidak oleh yang diingatkan baginya sama saja. “diikuti
atau tidak itu adalah soal dia sendiri, saya hanya sekedar mempringatkan
kepada siapa saja yang sedang lupa”. Demikian lah sikap beliau setiap
malakukan kewajiban. Justru karena keikhlasan dan ketulusan beliau, maka
selalu mendapat penghargaan dari pihak yang diingatkan tadi. Karena
beliau tidak ingIn dipuji disegani dan ditakuti, tetapi hanya
sematamata ikhlas karena Allah.
Perintis Kesetaraan Gender
Rasanya tidak berlebihan kalau Kyai Bisri Syansuri disebut
sebagai pejuang kesetaraan gender, khususnya di kalangan pesantren.
Kyai Bisrilah orang pertama yang mendirikan kelas khusus untuk
santri-santri wanita di pesantren yang didirikannya. Walalupun baru
diikuti perempuan-perempuan di desanya
Di zaman yang masih kental dengan nilai-nilai patrimonial waktu itu, apa
yang dilakukan Kyai Bisri termasuk kategori “aneh“. Untung sang guru
yang sangat dihormatinya, hadratussyaikh KH Hasyim Asy’ari tidak
menentang terobosan yang dilakukannya. Kalau saja hadratussyaikh
melarang, niscaya Kyai Bisri Syansuri tidak akan melanjutkan langkah
fenomenal yang telah dibuatnya. Hal ini semata-mata karena takdzimnya
yang begitu mendalam kepada sang guru yang selalu dipanggilnya “kyai“.
Ahli dan Pecinta Fiqh
Karakter sebagai pecinta Fiqh terbentuk ketika Kyai Bisri nyantri kepada
KH Kholil Bangkalan, dan semakin menguat setelah nyantri di Tebuireng.
Kyai Bsiri memang sengaja mendalami pokok-pokok pengambilan hukum agama
dalam fiqh, terutama literatur fiqh lama.
Tidak mengherankan jika Kyai Bisri begitu kukuh dalam memegangi
kaidah-kaidah hukum fiqh, dan begitu teguh dalam mengkontekstualisasikan
fiqh kepada Kenyataan hidup secara baik
Walaupun begitu, Kyai Bisri tidak kaku dan kolot dalam
berinteraksi dengan masyarakat. Hal itu setidaknya terlihat dari
upayanya dalam merintis pesantren yang di bangunnya di Denanyar
Politisi Tangguh
Persinggungannya dengan politik praktis diawali ketika bergabung dengan
Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) mewakili Masyumi, menjadi anggota
Dewan Konstituante dan puncaknya ketika dipercaya menjadi Ketua Majelis
Syuro PPP ketika NU secara formal tergabung dalam partai berlambang
ka’bah itu.
Salah satu prestasi yang paling mengesankan, ketika Kyai Bisri Syansuri
berhasil mendesakkan disyahkannya UU perkawinan hasil rancangannya
bersama-sama ulama NU. Padahal sebelumnya pemerintah sudah membuat
rancangan undang-undang Perkawinan ke Dewan Perwakilan Rakyat.
Kini, masyarakat merindukan kembali hadirnya seorang “kyai plus“ seperti
KH Bisri Syansuri. Kapankah kerinduan itu terobati. Wallahu a’lam.
(Amn).
KESIMPULAN
Teori belajar atau pemikiran para Mu’allim zaman dahulu ssangatlahj
berbeda dengan Mu’allim zaman sekarang. Mungkin sepintas kita melihat di
zaman sekrang yang sudah maju banyak teori belajar yang beraneka ragam
dan katanya itu merupakan teori belajar yang pantas untuk diterapkan dan
dipraktekkan oleh seoarang pengajar kepada muridnya. Memang saya juga
mengakui mengakui demikian. Tetapi jika kita bendingkan dengan teori
belajar para guru zaman dahulu, apakah perbedaannya?.
Setelah saya membaca beberapa buku sejarah para tokoh zaman dahulu,
terutama tokoh-tokoh Islam Indonesia, saya melihat perbedaan yang paling
mencolok adalah dari segi bathiniyah Mu’allim, yakni ketulusan dan
keinkhlasan hati mereka.
Para Mu’allim zaman dahulu mungkin mereka belum mengenal teori belajar
atau mungkin teori pendidikan seperti pada zaman sekarang, tapi mereka
mengajar para muridnya semata-mata dengan niat mentranfer ilmu mereka
kepada muridnya, dan itu dilakaukan dengan keikhlasan dan ketulusan hati
mereka. Memang kita melihat mereka hanya mengajar dengan fasilitas yang
kurang memadai dan dengan ilmu yang mungkin terbatas sesuai dengan
mereka miliki, tapi hasil dari anak didik mereka ternyata malah banyak
memilki prestasi gemilang dan keilmuannya juga meyakinkan.
Dari sini saya merasa bahwa di zaman sekarang yang sudah maju dengan
teknologi dan keilmuannya akan menjadi lebih baik lagi apabila seorang
pendidik mengajar dengan teori-teori belajar yang baik dan disertai
bathiniah yang baik pula. Sehingga suasana belajar juga terasa lebih
nyaman dan selalu dibarengi dengan keharmonisan dan kebahagian di antara
mu’allim dan murid.
REFERENSI
Masyhuri, Abd Aziz. Al-Maghfurlah K. H. M. Bisri Syansuri Cita-cita
dan pengabdiannya. PP. Aziziyah: Jombang.
Sumber "KH Bisri Syansuri, Pecinta Hukum Fiqh sepanjang Hayat", KH
Abdurahman Wahid, Majalah Amanah 1989.
Copy the BEST Traders and Make Money : http://bit.ly/fxzulu
Copy the BEST Traders and Make Money : http://bit.ly/fxzulu
Tempat Kelahiran
Beliau lahir pada hari rabu, 28 Dzulhijjah 1304 H atau 18 September 1886
M di Tayu, sebuah ibukota kecamatan yang letaknya kira-kira 100 Km arah
timur laut Semarang di Jawa Tengah, kawasan pesisir Pantai Utara Jawa
yang memiliki budaya sosial keagamaannya sendiri sebagai salah satu
titik dalam jalur daerah yang penduduknya teguh memegang tradisi
keagamaan.
Tayu merupakan latar belakang geografi yang sangat mewarnai pandangan
hidup beliau di kemudian hari, dan sedikit banyak turut membentuk
kepribadiannya. Beliau memang lahir dalam tradisi keagamaan yang kuat
dari keturunan yang memiliki ulama bermutu tinggi, di pihak ibunya yang
dilahirkan dari keluarga besar di Lasem. Keluarga ibunya adalah keluarga
yang menurunkan beberapa ulama besar dalam berbagai generasi, seperti
almarhum K. H. Kholil Lasem dan almarhum K. H. Baidlowi Lasem. Hingga
saat ini pun masih merupakan suatu pesantren induk bagi banyak pesantren
lainnya, dan tidak heran jika tradisi yang demikian kuat kaitannya
dengan penguasaan ilmu agama Islam secara mendalam itu akan tumbuh
seorang agamawan yang kemudian akan menjadi salah seorang ulama besar
yang memberikan bekas tersendiri terhadap sejarah bangsa dan negara.
Asuhan di masa kecilnya
Beliau sebagaimana umumnya pada dunia anak-anak di waktu itu, yakni
jarang sekali mendapat asuhan yang cukup sempurna dari ayah dan ibunya,
sebab pada waktu itu orang lebih banyak yang senangmenyerahkan hal
pendidikan dan pengajaran anaknya pada masa atau zaman dari pada
berusaha sendiri membentuk jiwa anak tersebut dengan cara yang teratur
dan sisitematik, sebagaimana kita lihat banyak orang tua yang
menyerahkan pendidikan anaknya pada pondok dan lainnya. Beliau hidup
sebagaimana ahli fikir, ahli ilmu pengetahuan, hidup pada zaman kecilnya
di zaman purba juga, yakni sangat kurang dan jauh sekali dari
kecukupan, kalau dibandingkan dengan ukuran keperluan belajar
sebagaimana pada zaman sekarang.tetapi pada umumnya mereka orang-orang
dahulu itu hidup lebih tenteram dan tenang dari pada orang yang hidup
pada zaman modern ini.
C. Khazanah K. H. M. Bisri Syansuri
Seorang mukmin sejati pasti percaya bahwa ada yang mengatur perjalanan
hidup manusia, yaitu Dzat Yang Maha Berkehendak. Walaupun dalam
batas-batas tertentu Dzat Yang Maha Agung itu juga memberikan kewenangan
kepada manusia untuk menentukan jalan hidupnya sendiri.
Begitupun, Bisri Syansuri kecil tentu tidak akan pernah menyangka jika
pada akhirnya akan menjadi “orang“ di Denanyar Jombang, bahkan sampai
menjadi Rais Aam PBNU menggantikan kakak iparnya (KH Wahab Chasbullah)
yang harus terlebih dahulu menghadap Allah SWT.
Perjalanannya menuju Jombang diawali ketika pada usia 15 tahun, Bisri
Syansuri mulai keluar kandang untuk nyantri kepada Kyai Kholil di
Bangkalan Madura. Di sinilah Bisri Syansuri secara serius mendalami ilmu
Fiqh yang dikemudian hari menjadi trade mark-nya, dan sekaligus bertemu
dengan KH Wahab Chasbullah, washilah yang membawanya ke Jombang,
nyantri kepada Hadratussyaikh KH Hasyim Asy’ari selama enam tahun ,
sebelum memperdalam ilmu di tanah suci Makkah.
KH Bisri Syansuri muda memang tidak terlalu menonjolkan diri dalam
lingkungan pergaulannya. Bisri Syansuri muda lebih suka menghabiskan
waktu dengan rutinitas dan kebersamaan dengan teman-teman sebayanya
Walaupun demikian, KH Bisri Syansuri tetap mampu “ tampil menjadi
pelopor“ dalam jagat pendidikan pesantren. Setelah selama dua tahun
membantu mertuanya sembari belajar, KH Bisri Syansuri menetapkan pilihan
untuk hidup mandiri dan bertekad membangun pesantren di Denanyar
Jombang
KH Bisri Syansuri boleh disebut sebagai “kyai plus“. Dalam diri KH Bisri
Syansuri paling tidak melekat tiga karakter sekaligus. Yaitu sebagai
perintis kesetaraan gender dalam pendidikan di pesantren, seorang ahli
dan pecinta fiqh dan sekaligus seorang politisi.
Ketulusan Hati Beliau
Dalam segala tingkh laku dan tutur katanya namp;ak benar
betapa kebrsihannya, keikhlasan dan ketulusan beliau. Tidak pandang
siapa dan di mana tempatnya, kalau memang terdapat kekurangan pada
seseorang tentu beliau ajan menegurnya dengan hormat dan lemah lembut,
akan diingatkannya dengan sopan santun dan bijaksana. Akan diterima
secara baik atau tidak oleh yang diingatkan baginya sama saja. “diikuti
atau tidak itu adalah soal dia sendiri, saya hanya sekedar mempringatkan
kepada siapa saja yang sedang lupa”. Demikian lah sikap beliau setiap
malakukan kewajiban. Justru karena keikhlasan dan ketulusan beliau, maka
selalu mendapat penghargaan dari pihak yang diingatkan tadi. Karena
beliau tidak ingIn dipuji disegani dan ditakuti, tetapi hanya
sematamata ikhlas karena Allah.
Perintis Kesetaraan Gender
Rasanya tidak berlebihan kalau Kyai Bisri Syansuri disebut
sebagai pejuang kesetaraan gender, khususnya di kalangan pesantren.
Kyai Bisrilah orang pertama yang mendirikan kelas khusus untuk
santri-santri wanita di pesantren yang didirikannya. Walalupun baru
diikuti perempuan-perempuan di desanya
Di zaman yang masih kental dengan nilai-nilai patrimonial waktu itu, apa
yang dilakukan Kyai Bisri termasuk kategori “aneh“. Untung sang guru
yang sangat dihormatinya, hadratussyaikh KH Hasyim Asy’ari tidak
menentang terobosan yang dilakukannya. Kalau saja hadratussyaikh
melarang, niscaya Kyai Bisri Syansuri tidak akan melanjutkan langkah
fenomenal yang telah dibuatnya. Hal ini semata-mata karena takdzimnya
yang begitu mendalam kepada sang guru yang selalu dipanggilnya “kyai“.
Ahli dan Pecinta Fiqh
Karakter sebagai pecinta Fiqh terbentuk ketika Kyai Bisri nyantri kepada
KH Kholil Bangkalan, dan semakin menguat setelah nyantri di Tebuireng.
Kyai Bsiri memang sengaja mendalami pokok-pokok pengambilan hukum agama
dalam fiqh, terutama literatur fiqh lama.
Tidak mengherankan jika Kyai Bisri begitu kukuh dalam memegangi
kaidah-kaidah hukum fiqh, dan begitu teguh dalam mengkontekstualisasikan
fiqh kepada Kenyataan hidup secara baik
Walaupun begitu, Kyai Bisri tidak kaku dan kolot dalam
berinteraksi dengan masyarakat. Hal itu setidaknya terlihat dari
upayanya dalam merintis pesantren yang di bangunnya di Denanyar
Politisi Tangguh
Persinggungannya dengan politik praktis diawali ketika bergabung dengan
Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) mewakili Masyumi, menjadi anggota
Dewan Konstituante dan puncaknya ketika dipercaya menjadi Ketua Majelis
Syuro PPP ketika NU secara formal tergabung dalam partai berlambang
ka’bah itu.
Salah satu prestasi yang paling mengesankan, ketika Kyai Bisri Syansuri
berhasil mendesakkan disyahkannya UU perkawinan hasil rancangannya
bersama-sama ulama NU. Padahal sebelumnya pemerintah sudah membuat
rancangan undang-undang Perkawinan ke Dewan Perwakilan Rakyat.
Kini, masyarakat merindukan kembali hadirnya seorang “kyai plus“ seperti
KH Bisri Syansuri. Kapankah kerinduan itu terobati. Wallahu a’lam.
(Amn).
KESIMPULAN
Teori belajar atau pemikiran para Mu’allim zaman dahulu ssangatlahj
berbeda dengan Mu’allim zaman sekarang. Mungkin sepintas kita melihat di
zaman sekrang yang sudah maju banyak teori belajar yang beraneka ragam
dan katanya itu merupakan teori belajar yang pantas untuk diterapkan dan
dipraktekkan oleh seoarang pengajar kepada muridnya. Memang saya juga
mengakui mengakui demikian. Tetapi jika kita bendingkan dengan teori
belajar para guru zaman dahulu, apakah perbedaannya?.
Setelah saya membaca beberapa buku sejarah para tokoh zaman dahulu,
terutama tokoh-tokoh Islam Indonesia, saya melihat perbedaan yang paling
mencolok adalah dari segi bathiniyah Mu’allim, yakni ketulusan dan
keinkhlasan hati mereka.
Para Mu’allim zaman dahulu mungkin mereka belum mengenal teori belajar
atau mungkin teori pendidikan seperti pada zaman sekarang, tapi mereka
mengajar para muridnya semata-mata dengan niat mentranfer ilmu mereka
kepada muridnya, dan itu dilakaukan dengan keikhlasan dan ketulusan hati
mereka. Memang kita melihat mereka hanya mengajar dengan fasilitas yang
kurang memadai dan dengan ilmu yang mungkin terbatas sesuai dengan
mereka miliki, tapi hasil dari anak didik mereka ternyata malah banyak
memilki prestasi gemilang dan keilmuannya juga meyakinkan.
Dari sini saya merasa bahwa di zaman sekarang yang sudah maju dengan
teknologi dan keilmuannya akan menjadi lebih baik lagi apabila seorang
pendidik mengajar dengan teori-teori belajar yang baik dan disertai
bathiniah yang baik pula. Sehingga suasana belajar juga terasa lebih
nyaman dan selalu dibarengi dengan keharmonisan dan kebahagian di antara
mu’allim dan murid.
REFERENSI
Masyhuri, Abd Aziz. Al-Maghfurlah K. H. M. Bisri Syansuri Cita-cita
dan pengabdiannya. PP. Aziziyah: Jombang.
Sumber "KH Bisri Syansuri, Pecinta Hukum Fiqh sepanjang Hayat", KH
Abdurahman Wahid, Majalah Amanah 1989.
Copy the BEST Traders and Make Money : http://bit.ly/fxzulu
Copy the BEST Traders and Make Money : http://bit.ly/fxzulu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar