Kamis, 26 November 2015

KH Bisri Syansuri, Tegas Berfiqih Lentur Bersikap

Seorang mukmin sejati pasti percaya bahwa ada yang mengatur perjalanan hidup manusia, yaitu Dzat Yang Maha Berkehendak. Walaupun dalam batas-batas tertentu Dzat Yang Maha Agung itu juga memberikan kewenangan kepada manusia untuk menentukan jalan hidupnya sendiri.

Begitupun, Bisri Syansuri kecil tentu tidak akan pernah menyangka jika pada akhirnya akan menjadi “orang“ di Denanyar Jombang, bahkan sampai menjadi Rais Aam PBNU menggantikan kakak iparnya (KH Wahab Chasbullah) yang harus terlebih dahulu menghadap Allah SWT.

Perjalanannya menuju Jombang diawali ketika pada usia 15 tahun, Bisri Syansuri mulai keluar kandang untuk nyantri kepada Kyai Kholil di Bangkalan Madura. Di sinilah Bisri Syansuri secara serius mendalami ilmu Fiqh yang dikemudian hari menjadi trade mark-nya, dan sekaligus bertemu dengan KH Wahab Chasbullah, washilah yang membawanya ke Jombang, nyantri kepada Hadratussyaikh KH Hasyim Asy’ari selama enam tahun , sebelum memperdalam ilmu di tanah suci Mekkah.

KH Bisri Syansuri muda memang tidak terlalu menonjolkan diri dalam lingkungan pergaulannya. Bisri Syansuri muda lebih suka menghabiskan waktu dengan rutinitas dan kebersamaan dengan teman-teman sebayanya.

Walaupun demikian, KH Bisri Syansuri tetap mampu “ tampil menjadi pelopor“ dalam jagat pendidikan pesantren. Setelah selama dua tahun membantu mertuanya sembari belajar, KH Bisri Syansuri menetapkan pilihan untuk hidup mandiri dan bertekad membangun pesantren di Denanyar Jombang.

KH Bisri Syansuri boleh disebut sebagai “kyai plus“. Dalam diri KH Bisri Syansuri paling tidak melekat tiga karakter sekaligus. Yaitu sebagai perintis kesetaraan gender dalam pendidikan di pesantren, seorang ahli dan pecinta fiqh dan sekaligus seorang politisi

Perintis Kesetaraan Gender

Rasanya tidak berlebihan kalau Kyai Bisri Syansuri disebut sebagai pejuang kesetaraan gender, khususnya di kalangan pesantren. Kyai Bisrilah orang pertama yang mendirikan kelas khusus untuk santri-santri wanita di pesantren yang didirikannya. Walalupun baru diikuti perempuan-perempuan di desanya.

Di zaman yang masih kental dengan nilai-nilai patrimonial waktu itu, apa yang dilakukan Kyai Bisri termasuk kategori “aneh“. Untung sang guru yang sangat dihormatinya, hadratussyaikh KH Hasyim Asy’ari tidak menentang terobosan yang dilakukannya. Kalau saja hadratussyaikh melarang, niscaya Kyai Bisri Syansuri tidak akan melanjutkan langkah fenomenal yang telah dibuatnya. Hal ini semata-mata karena takdzimnya yang begitu mendalam kepada sang guru yang selalu dipanggilnya “kyai“.

Ahli dan Pecinta Fiqh

Karakter sebagai pecinta Fiqh terbentuk ketika Kyai Bisri nyantri kepada KH Kholil Bangkalan, dan semakin menguat setelah nyantri di Tebuireng. Kyai Bsiri memang sengaja mendalami pokok-pokok pengambilan hukum agama dalam fiqh, terutama literatur fiqh lama.

Tidak mengherankan jika Kyai Bisri begitu kukuh dalam memegangi kaidah-kaidah hukum fiqh, dan begitu teguh dalam mengkontekstualisasikan fiqh kepada kenyataan-kenyataan hidup secara baik.

Walaupun begitu, Kyai Bisri tidak kaku dan kolot dalam berinteraksi dengan masyarakat. Hal itu setidaknya terlihat dari upayanya dalam merintis pesantren yang dibangunnya di Denanyar.

Politisi Tangguh

Persinggungannya dengan politik praktis diawali ketika bergabung dengan Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) mewakili Masyumi, menjadi anggota Dewan Konstituante dan puncaknya ketika dipercaya menjadi Ketua Majelis Syuro PPP ketika NU secara formal tergabung dalam partai berlambang ka’bah itu.

Salah satu prestasi yang paling mengesankan, ketika Kyai Bisri Syansuri berhasil mendesakkan disyahkannya UU perkawinan hasil rancangannya bersama-sama ulama NU. Padahal sebelumnya pemerintah sudah membuat rancangan undang-undang perkawinan ke Dewan Perwakilan Rakyat.

Kini, masyarakat merindukan kembali hadirnya seorang “kyai plus“ seperti KH Bisri Syansuri. Kapankah kerinduan itu terobati. Wallahu a’lam. (Amn)

Sumber "KH Bisri Syansuri, Pecinta Hukum Fiqh  sepanjang Hayat", KH Abdurahman Wahid, Majalah Amanah, 1989

yang letaknya kira-kira 100 Km arah timur laut Semarang di Jawa Tengah, kawasan pesisir Pantai Utara Jawa yang memiliki budaya sosial keagamaannya sendiri sebagai sala

Copy the BEST Traders and Make Money : http://bit.ly/fxzulu
Tempat Kelahiran Beliau lahir pada hari rabu, 28 Dzulhijjah 1304 H atau 18 September 1886 M di Tayu, sebuah ibukota kecamatan yang letaknya kira-kira 100 Km arah timur laut Semarang di Jawa Tengah, kawasan pesisir Pantai Utara Jawa yang memiliki budaya sosial keagamaannya sendiri sebagai salah satu titik dalam jalur daerah yang penduduknya teguh memegang tradisi keagamaan. Tayu merupakan latar belakang geografi yang sangat mewarnai pandangan hidup beliau di kemudian hari, dan sedikit banyak turut membentuk kepribadiannya. Beliau memang lahir dalam tradisi keagamaan yang kuat dari keturunan yang memiliki ulama bermutu tinggi, di pihak ibunya yang dilahirkan dari keluarga besar di Lasem. Keluarga ibunya adalah keluarga yang menurunkan beberapa ulama besar dalam berbagai generasi, seperti almarhum K. H. Kholil Lasem dan almarhum K. H. Baidlowi Lasem. Hingga saat ini pun masih merupakan suatu pesantren induk bagi banyak pesantren lainnya, dan tidak heran jika tradisi yang demikian kuat kaitannya dengan penguasaan ilmu agama Islam secara mendalam itu akan tumbuh seorang agamawan yang kemudian akan menjadi salah seorang ulama besar yang memberikan bekas tersendiri terhadap sejarah bangsa dan negara. Asuhan di masa kecilnya Beliau sebagaimana umumnya pada dunia anak-anak di waktu itu, yakni jarang sekali mendapat asuhan yang cukup sempurna dari ayah dan ibunya, sebab pada waktu itu orang lebih banyak yang senangmenyerahkan hal pendidikan dan pengajaran anaknya pada masa atau zaman dari pada berusaha sendiri membentuk jiwa anak tersebut dengan cara yang teratur dan sisitematik, sebagaimana kita lihat banyak orang tua yang menyerahkan pendidikan anaknya pada pondok dan lainnya. Beliau hidup sebagaimana ahli fikir, ahli ilmu pengetahuan, hidup pada zaman kecilnya di zaman purba juga, yakni sangat kurang dan jauh sekali dari kecukupan, kalau dibandingkan dengan ukuran keperluan belajar sebagaimana pada zaman sekarang.tetapi pada umumnya mereka orang-orang dahulu itu hidup lebih tenteram dan tenang dari pada orang yang hidup pada zaman modern ini. C. Khazanah K. H. M. Bisri Syansuri Seorang mukmin sejati pasti percaya bahwa ada yang mengatur perjalanan hidup manusia, yaitu Dzat Yang Maha Berkehendak. Walaupun dalam batas-batas tertentu Dzat Yang Maha Agung itu juga memberikan kewenangan kepada manusia untuk menentukan jalan hidupnya sendiri. Begitupun, Bisri Syansuri kecil tentu tidak akan pernah menyangka jika pada akhirnya akan menjadi “orang“ di Denanyar Jombang, bahkan sampai menjadi Rais Aam PBNU menggantikan kakak iparnya (KH Wahab Chasbullah) yang harus terlebih dahulu menghadap Allah SWT. Perjalanannya menuju Jombang diawali ketika pada usia 15 tahun, Bisri Syansuri mulai keluar kandang untuk nyantri kepada Kyai Kholil di Bangkalan Madura. Di sinilah Bisri Syansuri secara serius mendalami ilmu Fiqh yang dikemudian hari menjadi trade mark-nya, dan sekaligus bertemu dengan KH Wahab Chasbullah, washilah yang membawanya ke Jombang, nyantri kepada Hadratussyaikh KH Hasyim Asy’ari selama enam tahun , sebelum memperdalam ilmu di tanah suci Makkah. KH Bisri Syansuri muda memang tidak terlalu menonjolkan diri dalam lingkungan pergaulannya. Bisri Syansuri muda lebih suka menghabiskan waktu dengan rutinitas dan kebersamaan dengan teman-teman sebayanya Walaupun demikian, KH Bisri Syansuri tetap mampu “ tampil menjadi pelopor“ dalam jagat pendidikan pesantren. Setelah selama dua tahun membantu mertuanya sembari belajar, KH Bisri Syansuri menetapkan pilihan untuk hidup mandiri dan bertekad membangun pesantren di Denanyar Jombang KH Bisri Syansuri boleh disebut sebagai “kyai plus“. Dalam diri KH Bisri Syansuri paling tidak melekat tiga karakter sekaligus. Yaitu sebagai perintis kesetaraan gender dalam pendidikan di pesantren, seorang ahli dan pecinta fiqh dan sekaligus seorang politisi. Ketulusan Hati Beliau Dalam segala tingkh laku dan tutur katanya namp;ak benar betapa kebrsihannya, keikhlasan dan ketulusan beliau. Tidak pandang siapa dan di mana tempatnya, kalau memang terdapat kekurangan pada seseorang tentu beliau ajan menegurnya dengan hormat dan lemah lembut, akan diingatkannya dengan sopan santun dan bijaksana. Akan diterima secara baik atau tidak oleh yang diingatkan baginya sama saja. “diikuti atau tidak itu adalah soal dia sendiri, saya hanya sekedar mempringatkan kepada siapa saja yang sedang lupa”. Demikian lah sikap beliau setiap malakukan kewajiban. Justru karena keikhlasan dan ketulusan beliau, maka selalu mendapat penghargaan dari pihak yang diingatkan tadi. Karena beliau tidak ingIn dipuji disegani dan ditakuti, tetapi hanya sematamata ikhlas karena Allah. Perintis Kesetaraan Gender Rasanya tidak berlebihan kalau Kyai Bisri Syansuri disebut sebagai pejuang kesetaraan gender, khususnya di kalangan pesantren. Kyai Bisrilah orang pertama yang mendirikan kelas khusus untuk santri-santri wanita di pesantren yang didirikannya. Walalupun baru diikuti perempuan-perempuan di desanya Di zaman yang masih kental dengan nilai-nilai patrimonial waktu itu, apa yang dilakukan Kyai Bisri termasuk kategori “aneh“. Untung sang guru yang sangat dihormatinya, hadratussyaikh KH Hasyim Asy’ari tidak menentang terobosan yang dilakukannya. Kalau saja hadratussyaikh melarang, niscaya Kyai Bisri Syansuri tidak akan melanjutkan langkah fenomenal yang telah dibuatnya. Hal ini semata-mata karena takdzimnya yang begitu mendalam kepada sang guru yang selalu dipanggilnya “kyai“. Ahli dan Pecinta Fiqh Karakter sebagai pecinta Fiqh terbentuk ketika Kyai Bisri nyantri kepada KH Kholil Bangkalan, dan semakin menguat setelah nyantri di Tebuireng. Kyai Bsiri memang sengaja mendalami pokok-pokok pengambilan hukum agama dalam fiqh, terutama literatur fiqh lama. Tidak mengherankan jika Kyai Bisri begitu kukuh dalam memegangi kaidah-kaidah hukum fiqh, dan begitu teguh dalam mengkontekstualisasikan fiqh kepada Kenyataan hidup secara baik Walaupun begitu, Kyai Bisri tidak kaku dan kolot dalam berinteraksi dengan masyarakat. Hal itu setidaknya terlihat dari upayanya dalam merintis pesantren yang di bangunnya di Denanyar Politisi Tangguh Persinggungannya dengan politik praktis diawali ketika bergabung dengan Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) mewakili Masyumi, menjadi anggota Dewan Konstituante dan puncaknya ketika dipercaya menjadi Ketua Majelis Syuro PPP ketika NU secara formal tergabung dalam partai berlambang ka’bah itu. Salah satu prestasi yang paling mengesankan, ketika Kyai Bisri Syansuri berhasil mendesakkan disyahkannya UU perkawinan hasil rancangannya bersama-sama ulama NU. Padahal sebelumnya pemerintah sudah membuat rancangan undang-undang Perkawinan ke Dewan Perwakilan Rakyat. Kini, masyarakat merindukan kembali hadirnya seorang “kyai plus“ seperti KH Bisri Syansuri. Kapankah kerinduan itu terobati. Wallahu a’lam. (Amn). KESIMPULAN Teori belajar atau pemikiran para Mu’allim zaman dahulu ssangatlahj berbeda dengan Mu’allim zaman sekarang. Mungkin sepintas kita melihat di zaman sekrang yang sudah maju banyak teori belajar yang beraneka ragam dan katanya itu merupakan teori belajar yang pantas untuk diterapkan dan dipraktekkan oleh seoarang pengajar kepada muridnya. Memang saya juga mengakui mengakui demikian. Tetapi jika kita bendingkan dengan teori belajar para guru zaman dahulu, apakah perbedaannya?. Setelah saya membaca beberapa buku sejarah para tokoh zaman dahulu, terutama tokoh-tokoh Islam Indonesia, saya melihat perbedaan yang paling mencolok adalah dari segi bathiniyah Mu’allim, yakni ketulusan dan keinkhlasan hati mereka. Para Mu’allim zaman dahulu mungkin mereka belum mengenal teori belajar atau mungkin teori pendidikan seperti pada zaman sekarang, tapi mereka mengajar para muridnya semata-mata dengan niat mentranfer ilmu mereka kepada muridnya, dan itu dilakaukan dengan keikhlasan dan ketulusan hati mereka. Memang kita melihat mereka hanya mengajar dengan fasilitas yang kurang memadai dan dengan ilmu yang mungkin terbatas sesuai dengan mereka miliki, tapi hasil dari anak didik mereka ternyata malah banyak memilki prestasi gemilang dan keilmuannya juga meyakinkan. Dari sini saya merasa bahwa di zaman sekarang yang sudah maju dengan teknologi dan keilmuannya akan menjadi lebih baik lagi apabila seorang pendidik mengajar dengan teori-teori belajar yang baik dan disertai bathiniah yang baik pula. Sehingga suasana belajar juga terasa lebih nyaman dan selalu dibarengi dengan keharmonisan dan kebahagian di antara mu’allim dan murid.

Copy the BEST Traders and Make Money : http://bit.ly/fxzulu
Tempat Kelahiran Beliau lahir pada hari rabu, 28 Dzulhijjah 1304 H atau 18 September 1886 M di Tayu, sebuah ibukota kecamatan yang letaknya kira-kira 100 Km arah timur laut Semarang di Jawa Tengah, kawasan pesisir Pantai Utara Jawa yang memiliki budaya sosial keagamaannya sendiri sebagai salah satu titik dalam jalur daerah yang penduduknya teguh memegang tradisi keagamaan. Tayu merupakan latar belakang geografi yang sangat mewarnai pandangan hidup beliau di kemudian hari, dan sedikit banyak turut membentuk kepribadiannya. Beliau memang lahir dalam tradisi keagamaan yang kuat dari keturunan yang memiliki ulama bermutu tinggi, di pihak ibunya yang dilahirkan dari keluarga besar di Lasem. Keluarga ibunya adalah keluarga yang menurunkan beberapa ulama besar dalam berbagai generasi, seperti almarhum K. H. Kholil Lasem dan almarhum K. H. Baidlowi Lasem. Hingga saat ini pun masih merupakan suatu pesantren induk bagi banyak pesantren lainnya, dan tidak heran jika tradisi yang demikian kuat kaitannya dengan penguasaan ilmu agama Islam secara mendalam itu akan tumbuh seorang agamawan yang kemudian akan menjadi salah seorang ulama besar yang memberikan bekas tersendiri terhadap sejarah bangsa dan negara. Asuhan di masa kecilnya Beliau sebagaimana umumnya pada dunia anak-anak di waktu itu, yakni jarang sekali mendapat asuhan yang cukup sempurna dari ayah dan ibunya, sebab pada waktu itu orang lebih banyak yang senangmenyerahkan hal pendidikan dan pengajaran anaknya pada masa atau zaman dari pada berusaha sendiri membentuk jiwa anak tersebut dengan cara yang teratur dan sisitematik, sebagaimana kita lihat banyak orang tua yang menyerahkan pendidikan anaknya pada pondok dan lainnya. Beliau hidup sebagaimana ahli fikir, ahli ilmu pengetahuan, hidup pada zaman kecilnya di zaman purba juga, yakni sangat kurang dan jauh sekali dari kecukupan, kalau dibandingkan dengan ukuran keperluan belajar sebagaimana pada zaman sekarang.tetapi pada umumnya mereka orang-orang dahulu itu hidup lebih tenteram dan tenang dari pada orang yang hidup pada zaman modern ini. C. Khazanah K. H. M. Bisri Syansuri Seorang mukmin sejati pasti percaya bahwa ada yang mengatur perjalanan hidup manusia, yaitu Dzat Yang Maha Berkehendak. Walaupun dalam batas-batas tertentu Dzat Yang Maha Agung itu juga memberikan kewenangan kepada manusia untuk menentukan jalan hidupnya sendiri. Begitupun, Bisri Syansuri kecil tentu tidak akan pernah menyangka jika pada akhirnya akan menjadi “orang“ di Denanyar Jombang, bahkan sampai menjadi Rais Aam PBNU menggantikan kakak iparnya (KH Wahab Chasbullah) yang harus terlebih dahulu menghadap Allah SWT. Perjalanannya menuju Jombang diawali ketika pada usia 15 tahun, Bisri Syansuri mulai keluar kandang untuk nyantri kepada Kyai Kholil di Bangkalan Madura. Di sinilah Bisri Syansuri secara serius mendalami ilmu Fiqh yang dikemudian hari menjadi trade mark-nya, dan sekaligus bertemu dengan KH Wahab Chasbullah, washilah yang membawanya ke Jombang, nyantri kepada Hadratussyaikh KH Hasyim Asy’ari selama enam tahun , sebelum memperdalam ilmu di tanah suci Makkah. KH Bisri Syansuri muda memang tidak terlalu menonjolkan diri dalam lingkungan pergaulannya. Bisri Syansuri muda lebih suka menghabiskan waktu dengan rutinitas dan kebersamaan dengan teman-teman sebayanya Walaupun demikian, KH Bisri Syansuri tetap mampu “ tampil menjadi pelopor“ dalam jagat pendidikan pesantren. Setelah selama dua tahun membantu mertuanya sembari belajar, KH Bisri Syansuri menetapkan pilihan untuk hidup mandiri dan bertekad membangun pesantren di Denanyar Jombang KH Bisri Syansuri boleh disebut sebagai “kyai plus“. Dalam diri KH Bisri Syansuri paling tidak melekat tiga karakter sekaligus. Yaitu sebagai perintis kesetaraan gender dalam pendidikan di pesantren, seorang ahli dan pecinta fiqh dan sekaligus seorang politisi. Ketulusan Hati Beliau Dalam segala tingkh laku dan tutur katanya namp;ak benar betapa kebrsihannya, keikhlasan dan ketulusan beliau. Tidak pandang siapa dan di mana tempatnya, kalau memang terdapat kekurangan pada seseorang tentu beliau ajan menegurnya dengan hormat dan lemah lembut, akan diingatkannya dengan sopan santun dan bijaksana. Akan diterima secara baik atau tidak oleh yang diingatkan baginya sama saja. “diikuti atau tidak itu adalah soal dia sendiri, saya hanya sekedar mempringatkan kepada siapa saja yang sedang lupa”. Demikian lah sikap beliau setiap malakukan kewajiban. Justru karena keikhlasan dan ketulusan beliau, maka selalu mendapat penghargaan dari pihak yang diingatkan tadi. Karena beliau tidak ingIn dipuji disegani dan ditakuti, tetapi hanya sematamata ikhlas karena Allah. Perintis Kesetaraan Gender Rasanya tidak berlebihan kalau Kyai Bisri Syansuri disebut sebagai pejuang kesetaraan gender, khususnya di kalangan pesantren. Kyai Bisrilah orang pertama yang mendirikan kelas khusus untuk santri-santri wanita di pesantren yang didirikannya. Walalupun baru diikuti perempuan-perempuan di desanya Di zaman yang masih kental dengan nilai-nilai patrimonial waktu itu, apa yang dilakukan Kyai Bisri termasuk kategori “aneh“. Untung sang guru yang sangat dihormatinya, hadratussyaikh KH Hasyim Asy’ari tidak menentang terobosan yang dilakukannya. Kalau saja hadratussyaikh melarang, niscaya Kyai Bisri Syansuri tidak akan melanjutkan langkah fenomenal yang telah dibuatnya. Hal ini semata-mata karena takdzimnya yang begitu mendalam kepada sang guru yang selalu dipanggilnya “kyai“. Ahli dan Pecinta Fiqh Karakter sebagai pecinta Fiqh terbentuk ketika Kyai Bisri nyantri kepada KH Kholil Bangkalan, dan semakin menguat setelah nyantri di Tebuireng. Kyai Bsiri memang sengaja mendalami pokok-pokok pengambilan hukum agama dalam fiqh, terutama literatur fiqh lama. Tidak mengherankan jika Kyai Bisri begitu kukuh dalam memegangi kaidah-kaidah hukum fiqh, dan begitu teguh dalam mengkontekstualisasikan fiqh kepada Kenyataan hidup secara baik Walaupun begitu, Kyai Bisri tidak kaku dan kolot dalam berinteraksi dengan masyarakat. Hal itu setidaknya terlihat dari upayanya dalam merintis pesantren yang di bangunnya di Denanyar Politisi Tangguh Persinggungannya dengan politik praktis diawali ketika bergabung dengan Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) mewakili Masyumi, menjadi anggota Dewan Konstituante dan puncaknya ketika dipercaya menjadi Ketua Majelis Syuro PPP ketika NU secara formal tergabung dalam partai berlambang ka’bah itu. Salah satu prestasi yang paling mengesankan, ketika Kyai Bisri Syansuri berhasil mendesakkan disyahkannya UU perkawinan hasil rancangannya bersama-sama ulama NU. Padahal sebelumnya pemerintah sudah membuat rancangan undang-undang Perkawinan ke Dewan Perwakilan Rakyat. Kini, masyarakat merindukan kembali hadirnya seorang “kyai plus“ seperti KH Bisri Syansuri. Kapankah kerinduan itu terobati. Wallahu a’lam. (Amn). KESIMPULAN Teori belajar atau pemikiran para Mu’allim zaman dahulu ssangatlahj berbeda dengan Mu’allim zaman sekarang. Mungkin sepintas kita melihat di zaman sekrang yang sudah maju banyak teori belajar yang beraneka ragam dan katanya itu merupakan teori belajar yang pantas untuk diterapkan dan dipraktekkan oleh seoarang pengajar kepada muridnya. Memang saya juga mengakui mengakui demikian. Tetapi jika kita bendingkan dengan teori belajar para guru zaman dahulu, apakah perbedaannya?. Setelah saya membaca beberapa buku sejarah para tokoh zaman dahulu, terutama tokoh-tokoh Islam Indonesia, saya melihat perbedaan yang paling mencolok adalah dari segi bathiniyah Mu’allim, yakni ketulusan dan keinkhlasan hati mereka. Para Mu’allim zaman dahulu mungkin mereka belum mengenal teori belajar atau mungkin teori pendidikan seperti pada zaman sekarang, tapi mereka mengajar para muridnya semata-mata dengan niat mentranfer ilmu mereka kepada muridnya, dan itu dilakaukan dengan keikhlasan dan ketulusan hati mereka. Memang kita melihat mereka hanya mengajar dengan fasilitas yang kurang memadai dan dengan ilmu yang mungkin terbatas sesuai dengan mereka miliki, tapi hasil dari anak didik mereka ternyata malah banyak memilki prestasi gemilang dan keilmuannya juga meyakinkan. Dari sini saya merasa bahwa di zaman sekarang yang sudah maju dengan teknologi dan keilmuannya akan menjadi lebih baik lagi apabila seorang pendidik mengajar dengan teori-teori belajar yang baik dan disertai bathiniah yang baik pula. Sehingga suasana belajar juga terasa lebih nyaman dan selalu dibarengi dengan keharmonisan dan kebahagian di antara mu’allim dan murid. REFERENSI Masyhuri, Abd Aziz. Al-Maghfurlah K. H. M. Bisri Syansuri Cita-cita dan pengabdiannya. PP. Aziziyah: Jombang. Sumber "KH Bisri Syansuri, Pecinta Hukum Fiqh sepanjang Hayat", KH Abdurahman Wahid, Majalah Amanah 1989.

Copy the BEST Traders and Make Money : http://bit.ly/fxzulu
Tempat Kelahiran Beliau lahir pada hari rabu, 28 Dzulhijjah 1304 H atau 18 September 1886 M di Tayu, sebuah ibukota kecamatan yang letaknya kira-kira 100 Km arah timur laut Semarang di Jawa Tengah, kawasan pesisir Pantai Utara Jawa yang memiliki budaya sosial keagamaannya sendiri sebagai salah satu titik dalam jalur daerah yang penduduknya teguh memegang tradisi keagamaan. Tayu merupakan latar belakang geografi yang sangat mewarnai pandangan hidup beliau di kemudian hari, dan sedikit banyak turut membentuk kepribadiannya. Beliau memang lahir dalam tradisi keagamaan yang kuat dari keturunan yang memiliki ulama bermutu tinggi, di pihak ibunya yang dilahirkan dari keluarga besar di Lasem. Keluarga ibunya adalah keluarga yang menurunkan beberapa ulama besar dalam berbagai generasi, seperti almarhum K. H. Kholil Lasem dan almarhum K. H. Baidlowi Lasem. Hingga saat ini pun masih merupakan suatu pesantren induk bagi banyak pesantren lainnya, dan tidak heran jika tradisi yang demikian kuat kaitannya dengan penguasaan ilmu agama Islam secara mendalam itu akan tumbuh seorang agamawan yang kemudian akan menjadi salah seorang ulama besar yang memberikan bekas tersendiri terhadap sejarah bangsa dan negara. Asuhan di masa kecilnya Beliau sebagaimana umumnya pada dunia anak-anak di waktu itu, yakni jarang sekali mendapat asuhan yang cukup sempurna dari ayah dan ibunya, sebab pada waktu itu orang lebih banyak yang senangmenyerahkan hal pendidikan dan pengajaran anaknya pada masa atau zaman dari pada berusaha sendiri membentuk jiwa anak tersebut dengan cara yang teratur dan sisitematik, sebagaimana kita lihat banyak orang tua yang menyerahkan pendidikan anaknya pada pondok dan lainnya. Beliau hidup sebagaimana ahli fikir, ahli ilmu pengetahuan, hidup pada zaman kecilnya di zaman purba juga, yakni sangat kurang dan jauh sekali dari kecukupan, kalau dibandingkan dengan ukuran keperluan belajar sebagaimana pada zaman sekarang.tetapi pada umumnya mereka orang-orang dahulu itu hidup lebih tenteram dan tenang dari pada orang yang hidup pada zaman modern ini. C. Khazanah K. H. M. Bisri Syansuri Seorang mukmin sejati pasti percaya bahwa ada yang mengatur perjalanan hidup manusia, yaitu Dzat Yang Maha Berkehendak. Walaupun dalam batas-batas tertentu Dzat Yang Maha Agung itu juga memberikan kewenangan kepada manusia untuk menentukan jalan hidupnya sendiri. Begitupun, Bisri Syansuri kecil tentu tidak akan pernah menyangka jika pada akhirnya akan menjadi “orang“ di Denanyar Jombang, bahkan sampai menjadi Rais Aam PBNU menggantikan kakak iparnya (KH Wahab Chasbullah) yang harus terlebih dahulu menghadap Allah SWT. Perjalanannya menuju Jombang diawali ketika pada usia 15 tahun, Bisri Syansuri mulai keluar kandang untuk nyantri kepada Kyai Kholil di Bangkalan Madura. Di sinilah Bisri Syansuri secara serius mendalami ilmu Fiqh yang dikemudian hari menjadi trade mark-nya, dan sekaligus bertemu dengan KH Wahab Chasbullah, washilah yang membawanya ke Jombang, nyantri kepada Hadratussyaikh KH Hasyim Asy’ari selama enam tahun , sebelum memperdalam ilmu di tanah suci Makkah. KH Bisri Syansuri muda memang tidak terlalu menonjolkan diri dalam lingkungan pergaulannya. Bisri Syansuri muda lebih suka menghabiskan waktu dengan rutinitas dan kebersamaan dengan teman-teman sebayanya Walaupun demikian, KH Bisri Syansuri tetap mampu “ tampil menjadi pelopor“ dalam jagat pendidikan pesantren. Setelah selama dua tahun membantu mertuanya sembari belajar, KH Bisri Syansuri menetapkan pilihan untuk hidup mandiri dan bertekad membangun pesantren di Denanyar Jombang KH Bisri Syansuri boleh disebut sebagai “kyai plus“. Dalam diri KH Bisri Syansuri paling tidak melekat tiga karakter sekaligus. Yaitu sebagai perintis kesetaraan gender dalam pendidikan di pesantren, seorang ahli dan pecinta fiqh dan sekaligus seorang politisi. Ketulusan Hati Beliau Dalam segala tingkh laku dan tutur katanya namp;ak benar betapa kebrsihannya, keikhlasan dan ketulusan beliau. Tidak pandang siapa dan di mana tempatnya, kalau memang terdapat kekurangan pada seseorang tentu beliau ajan menegurnya dengan hormat dan lemah lembut, akan diingatkannya dengan sopan santun dan bijaksana. Akan diterima secara baik atau tidak oleh yang diingatkan baginya sama saja. “diikuti atau tidak itu adalah soal dia sendiri, saya hanya sekedar mempringatkan kepada siapa saja yang sedang lupa”. Demikian lah sikap beliau setiap malakukan kewajiban. Justru karena keikhlasan dan ketulusan beliau, maka selalu mendapat penghargaan dari pihak yang diingatkan tadi. Karena beliau tidak ingIn dipuji disegani dan ditakuti, tetapi hanya sematamata ikhlas karena Allah. Perintis Kesetaraan Gender Rasanya tidak berlebihan kalau Kyai Bisri Syansuri disebut sebagai pejuang kesetaraan gender, khususnya di kalangan pesantren. Kyai Bisrilah orang pertama yang mendirikan kelas khusus untuk santri-santri wanita di pesantren yang didirikannya. Walalupun baru diikuti perempuan-perempuan di desanya Di zaman yang masih kental dengan nilai-nilai patrimonial waktu itu, apa yang dilakukan Kyai Bisri termasuk kategori “aneh“. Untung sang guru yang sangat dihormatinya, hadratussyaikh KH Hasyim Asy’ari tidak menentang terobosan yang dilakukannya. Kalau saja hadratussyaikh melarang, niscaya Kyai Bisri Syansuri tidak akan melanjutkan langkah fenomenal yang telah dibuatnya. Hal ini semata-mata karena takdzimnya yang begitu mendalam kepada sang guru yang selalu dipanggilnya “kyai“. Ahli dan Pecinta Fiqh Karakter sebagai pecinta Fiqh terbentuk ketika Kyai Bisri nyantri kepada KH Kholil Bangkalan, dan semakin menguat setelah nyantri di Tebuireng. Kyai Bsiri memang sengaja mendalami pokok-pokok pengambilan hukum agama dalam fiqh, terutama literatur fiqh lama. Tidak mengherankan jika Kyai Bisri begitu kukuh dalam memegangi kaidah-kaidah hukum fiqh, dan begitu teguh dalam mengkontekstualisasikan fiqh kepada Kenyataan hidup secara baik Walaupun begitu, Kyai Bisri tidak kaku dan kolot dalam berinteraksi dengan masyarakat. Hal itu setidaknya terlihat dari upayanya dalam merintis pesantren yang di bangunnya di Denanyar Politisi Tangguh Persinggungannya dengan politik praktis diawali ketika bergabung dengan Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) mewakili Masyumi, menjadi anggota Dewan Konstituante dan puncaknya ketika dipercaya menjadi Ketua Majelis Syuro PPP ketika NU secara formal tergabung dalam partai berlambang ka’bah itu. Salah satu prestasi yang paling mengesankan, ketika Kyai Bisri Syansuri berhasil mendesakkan disyahkannya UU perkawinan hasil rancangannya bersama-sama ulama NU. Padahal sebelumnya pemerintah sudah membuat rancangan undang-undang Perkawinan ke Dewan Perwakilan Rakyat. Kini, masyarakat merindukan kembali hadirnya seorang “kyai plus“ seperti KH Bisri Syansuri. Kapankah kerinduan itu terobati. Wallahu a’lam. (Amn). KESIMPULAN Teori belajar atau pemikiran para Mu’allim zaman dahulu ssangatlahj berbeda dengan Mu’allim zaman sekarang. Mungkin sepintas kita melihat di zaman sekrang yang sudah maju banyak teori belajar yang beraneka ragam dan katanya itu merupakan teori belajar yang pantas untuk diterapkan dan dipraktekkan oleh seoarang pengajar kepada muridnya. Memang saya juga mengakui mengakui demikian. Tetapi jika kita bendingkan dengan teori belajar para guru zaman dahulu, apakah perbedaannya?. Setelah saya membaca beberapa buku sejarah para tokoh zaman dahulu, terutama tokoh-tokoh Islam Indonesia, saya melihat perbedaan yang paling mencolok adalah dari segi bathiniyah Mu’allim, yakni ketulusan dan keinkhlasan hati mereka. Para Mu’allim zaman dahulu mungkin mereka belum mengenal teori belajar atau mungkin teori pendidikan seperti pada zaman sekarang, tapi mereka mengajar para muridnya semata-mata dengan niat mentranfer ilmu mereka kepada muridnya, dan itu dilakaukan dengan keikhlasan dan ketulusan hati mereka. Memang kita melihat mereka hanya mengajar dengan fasilitas yang kurang memadai dan dengan ilmu yang mungkin terbatas sesuai dengan mereka miliki, tapi hasil dari anak didik mereka ternyata malah banyak memilki prestasi gemilang dan keilmuannya juga meyakinkan. Dari sini saya merasa bahwa di zaman sekarang yang sudah maju dengan teknologi dan keilmuannya akan menjadi lebih baik lagi apabila seorang pendidik mengajar dengan teori-teori belajar yang baik dan disertai bathiniah yang baik pula. Sehingga suasana belajar juga terasa lebih nyaman dan selalu dibarengi dengan keharmonisan dan kebahagian di antara mu’allim dan murid. REFERENSI Masyhuri, Abd Aziz. Al-Maghfurlah K. H. M. Bisri Syansuri Cita-cita dan pengabdiannya. PP. Aziziyah: Jombang. Sumber "KH Bisri Syansuri, Pecinta Hukum Fiqh sepanjang Hayat", KH Abdurahman Wahid, Majalah Amanah 1989.

Copy the BEST Traders and Make Money : http://bit.ly/fxzulu
Tempat Kelahiran Beliau lahir pada hari rabu, 28 Dzulhijjah 1304 H atau 18 September 1886 M di Tayu, sebuah ibukota kecamatan yang letaknya kira-kira 100 Km arah timur laut Semarang di Jawa Tengah, kawasan pesisir Pantai Utara Jawa yang memiliki budaya sosial keagamaannya sendiri sebagai salah satu titik dalam jalur daerah yang penduduknya teguh memegang tradisi keagamaan. Tayu merupakan latar belakang geografi yang sangat mewarnai pandangan hidup beliau di kemudian hari, dan sedikit banyak turut membentuk kepribadiannya. Beliau memang lahir dalam tradisi keagamaan yang kuat dari keturunan yang memiliki ulama bermutu tinggi, di pihak ibunya yang dilahirkan dari keluarga besar di Lasem. Keluarga ibunya adalah keluarga yang menurunkan beberapa ulama besar dalam berbagai generasi, seperti almarhum K. H. Kholil Lasem dan almarhum K. H. Baidlowi Lasem. Hingga saat ini pun masih merupakan suatu pesantren induk bagi banyak pesantren lainnya, dan tidak heran jika tradisi yang demikian kuat kaitannya dengan penguasaan ilmu agama Islam secara mendalam itu akan tumbuh seorang agamawan yang kemudian akan menjadi salah seorang ulama besar yang memberikan bekas tersendiri terhadap sejarah bangsa dan negara. Asuhan di masa kecilnya Beliau sebagaimana umumnya pada dunia anak-anak di waktu itu, yakni jarang sekali mendapat asuhan yang cukup sempurna dari ayah dan ibunya, sebab pada waktu itu orang lebih banyak yang senangmenyerahkan hal pendidikan dan pengajaran anaknya pada masa atau zaman dari pada berusaha sendiri membentuk jiwa anak tersebut dengan cara yang teratur dan sisitematik, sebagaimana kita lihat banyak orang tua yang menyerahkan pendidikan anaknya pada pondok dan lainnya. Beliau hidup sebagaimana ahli fikir, ahli ilmu pengetahuan, hidup pada zaman kecilnya di zaman purba juga, yakni sangat kurang dan jauh sekali dari kecukupan, kalau dibandingkan dengan ukuran keperluan belajar sebagaimana pada zaman sekarang.tetapi pada umumnya mereka orang-orang dahulu itu hidup lebih tenteram dan tenang dari pada orang yang hidup pada zaman modern ini. C. Khazanah K. H. M. Bisri Syansuri Seorang mukmin sejati pasti percaya bahwa ada yang mengatur perjalanan hidup manusia, yaitu Dzat Yang Maha Berkehendak. Walaupun dalam batas-batas tertentu Dzat Yang Maha Agung itu juga memberikan kewenangan kepada manusia untuk menentukan jalan hidupnya sendiri. Begitupun, Bisri Syansuri kecil tentu tidak akan pernah menyangka jika pada akhirnya akan menjadi “orang“ di Denanyar Jombang, bahkan sampai menjadi Rais Aam PBNU menggantikan kakak iparnya (KH Wahab Chasbullah) yang harus terlebih dahulu menghadap Allah SWT. Perjalanannya menuju Jombang diawali ketika pada usia 15 tahun, Bisri Syansuri mulai keluar kandang untuk nyantri kepada Kyai Kholil di Bangkalan Madura. Di sinilah Bisri Syansuri secara serius mendalami ilmu Fiqh yang dikemudian hari menjadi trade mark-nya, dan sekaligus bertemu dengan KH Wahab Chasbullah, washilah yang membawanya ke Jombang, nyantri kepada Hadratussyaikh KH Hasyim Asy’ari selama enam tahun , sebelum memperdalam ilmu di tanah suci Makkah. KH Bisri Syansuri muda memang tidak terlalu menonjolkan diri dalam lingkungan pergaulannya. Bisri Syansuri muda lebih suka menghabiskan waktu dengan rutinitas dan kebersamaan dengan teman-teman sebayanya Walaupun demikian, KH Bisri Syansuri tetap mampu “ tampil menjadi pelopor“ dalam jagat pendidikan pesantren. Setelah selama dua tahun membantu mertuanya sembari belajar, KH Bisri Syansuri menetapkan pilihan untuk hidup mandiri dan bertekad membangun pesantren di Denanyar Jombang KH Bisri Syansuri boleh disebut sebagai “kyai plus“. Dalam diri KH Bisri Syansuri paling tidak melekat tiga karakter sekaligus. Yaitu sebagai perintis kesetaraan gender dalam pendidikan di pesantren, seorang ahli dan pecinta fiqh dan sekaligus seorang politisi. Ketulusan Hati Beliau Dalam segala tingkh laku dan tutur katanya namp;ak benar betapa kebrsihannya, keikhlasan dan ketulusan beliau. Tidak pandang siapa dan di mana tempatnya, kalau memang terdapat kekurangan pada seseorang tentu beliau ajan menegurnya dengan hormat dan lemah lembut, akan diingatkannya dengan sopan santun dan bijaksana. Akan diterima secara baik atau tidak oleh yang diingatkan baginya sama saja. “diikuti atau tidak itu adalah soal dia sendiri, saya hanya sekedar mempringatkan kepada siapa saja yang sedang lupa”. Demikian lah sikap beliau setiap malakukan kewajiban. Justru karena keikhlasan dan ketulusan beliau, maka selalu mendapat penghargaan dari pihak yang diingatkan tadi. Karena beliau tidak ingIn dipuji disegani dan ditakuti, tetapi hanya sematamata ikhlas karena Allah. Perintis Kesetaraan Gender Rasanya tidak berlebihan kalau Kyai Bisri Syansuri disebut sebagai pejuang kesetaraan gender, khususnya di kalangan pesantren. Kyai Bisrilah orang pertama yang mendirikan kelas khusus untuk santri-santri wanita di pesantren yang didirikannya. Walalupun baru diikuti perempuan-perempuan di desanya Di zaman yang masih kental dengan nilai-nilai patrimonial waktu itu, apa yang dilakukan Kyai Bisri termasuk kategori “aneh“. Untung sang guru yang sangat dihormatinya, hadratussyaikh KH Hasyim Asy’ari tidak menentang terobosan yang dilakukannya. Kalau saja hadratussyaikh melarang, niscaya Kyai Bisri Syansuri tidak akan melanjutkan langkah fenomenal yang telah dibuatnya. Hal ini semata-mata karena takdzimnya yang begitu mendalam kepada sang guru yang selalu dipanggilnya “kyai“. Ahli dan Pecinta Fiqh Karakter sebagai pecinta Fiqh terbentuk ketika Kyai Bisri nyantri kepada KH Kholil Bangkalan, dan semakin menguat setelah nyantri di Tebuireng. Kyai Bsiri memang sengaja mendalami pokok-pokok pengambilan hukum agama dalam fiqh, terutama literatur fiqh lama. Tidak mengherankan jika Kyai Bisri begitu kukuh dalam memegangi kaidah-kaidah hukum fiqh, dan begitu teguh dalam mengkontekstualisasikan fiqh kepada Kenyataan hidup secara baik Walaupun begitu, Kyai Bisri tidak kaku dan kolot dalam berinteraksi dengan masyarakat. Hal itu setidaknya terlihat dari upayanya dalam merintis pesantren yang di bangunnya di Denanyar Politisi Tangguh Persinggungannya dengan politik praktis diawali ketika bergabung dengan Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) mewakili Masyumi, menjadi anggota Dewan Konstituante dan puncaknya ketika dipercaya menjadi Ketua Majelis Syuro PPP ketika NU secara formal tergabung dalam partai berlambang ka’bah itu. Salah satu prestasi yang paling mengesankan, ketika Kyai Bisri Syansuri berhasil mendesakkan disyahkannya UU perkawinan hasil rancangannya bersama-sama ulama NU. Padahal sebelumnya pemerintah sudah membuat rancangan undang-undang Perkawinan ke Dewan Perwakilan Rakyat. Kini, masyarakat merindukan kembali hadirnya seorang “kyai plus“ seperti KH Bisri Syansuri. Kapankah kerinduan itu terobati. Wallahu a’lam. (Amn). KESIMPULAN Teori belajar atau pemikiran para Mu’allim zaman dahulu ssangatlahj berbeda dengan Mu’allim zaman sekarang. Mungkin sepintas kita melihat di zaman sekrang yang sudah maju banyak teori belajar yang beraneka ragam dan katanya itu merupakan teori belajar yang pantas untuk diterapkan dan dipraktekkan oleh seoarang pengajar kepada muridnya. Memang saya juga mengakui mengakui demikian. Tetapi jika kita bendingkan dengan teori belajar para guru zaman dahulu, apakah perbedaannya?. Setelah saya membaca beberapa buku sejarah para tokoh zaman dahulu, terutama tokoh-tokoh Islam Indonesia, saya melihat perbedaan yang paling mencolok adalah dari segi bathiniyah Mu’allim, yakni ketulusan dan keinkhlasan hati mereka. Para Mu’allim zaman dahulu mungkin mereka belum mengenal teori belajar atau mungkin teori pendidikan seperti pada zaman sekarang, tapi mereka mengajar para muridnya semata-mata dengan niat mentranfer ilmu mereka kepada muridnya, dan itu dilakaukan dengan keikhlasan dan ketulusan hati mereka. Memang kita melihat mereka hanya mengajar dengan fasilitas yang kurang memadai dan dengan ilmu yang mungkin terbatas sesuai dengan mereka miliki, tapi hasil dari anak didik mereka ternyata malah banyak memilki prestasi gemilang dan keilmuannya juga meyakinkan. Dari sini saya merasa bahwa di zaman sekarang yang sudah maju dengan teknologi dan keilmuannya akan menjadi lebih baik lagi apabila seorang pendidik mengajar dengan teori-teori belajar yang baik dan disertai bathiniah yang baik pula. Sehingga suasana belajar juga terasa lebih nyaman dan selalu dibarengi dengan keharmonisan dan kebahagian di antara mu’allim dan murid. REFERENSI Masyhuri, Abd Aziz. Al-Maghfurlah K. H. M. Bisri Syansuri Cita-cita dan pengabdiannya. PP. Aziziyah: Jombang. Sumber "KH Bisri Syansuri, Pecinta Hukum Fiqh sepanjang Hayat", KH Abdurahman Wahid, Majalah Amanah 1989.

Copy the BEST Traders and Make Money : http://bit.ly/fxzulu
Tempat Kelahiran Beliau lahir pada hari rabu, 28 Dzulhijjah 1304 H atau 18 September 1886 M di Tayu, sebuah ibukota kecamatan yang letaknya kira-kira 100 Km arah timur laut Semarang di Jawa Tengah, kawasan pesisir Pantai Utara Jawa yang memiliki budaya sosial keagamaannya sendiri sebagai salah satu titik dalam jalur daerah yang penduduknya teguh memegang tradisi keagamaan. Tayu merupakan latar belakang geografi yang sangat mewarnai pandangan hidup beliau di kemudian hari, dan sedikit banyak turut membentuk kepribadiannya. Beliau memang lahir dalam tradisi keagamaan yang kuat dari keturunan yang memiliki ulama bermutu tinggi, di pihak ibunya yang dilahirkan dari keluarga besar di Lasem. Keluarga ibunya adalah keluarga yang menurunkan beberapa ulama besar dalam berbagai generasi, seperti almarhum K. H. Kholil Lasem dan almarhum K. H. Baidlowi Lasem. Hingga saat ini pun masih merupakan suatu pesantren induk bagi banyak pesantren lainnya, dan tidak heran jika tradisi yang demikian kuat kaitannya dengan penguasaan ilmu agama Islam secara mendalam itu akan tumbuh seorang agamawan yang kemudian akan menjadi salah seorang ulama besar yang memberikan bekas tersendiri terhadap sejarah bangsa dan negara. Asuhan di masa kecilnya Beliau sebagaimana umumnya pada dunia anak-anak di waktu itu, yakni jarang sekali mendapat asuhan yang cukup sempurna dari ayah dan ibunya, sebab pada waktu itu orang lebih banyak yang senangmenyerahkan hal pendidikan dan pengajaran anaknya pada masa atau zaman dari pada berusaha sendiri membentuk jiwa anak tersebut dengan cara yang teratur dan sisitematik, sebagaimana kita lihat banyak orang tua yang menyerahkan pendidikan anaknya pada pondok dan lainnya. Beliau hidup sebagaimana ahli fikir, ahli ilmu pengetahuan, hidup pada zaman kecilnya di zaman purba juga, yakni sangat kurang dan jauh sekali dari kecukupan, kalau dibandingkan dengan ukuran keperluan belajar sebagaimana pada zaman sekarang.tetapi pada umumnya mereka orang-orang dahulu itu hidup lebih tenteram dan tenang dari pada orang yang hidup pada zaman modern ini. C. Khazanah K. H. M. Bisri Syansuri Seorang mukmin sejati pasti percaya bahwa ada yang mengatur perjalanan hidup manusia, yaitu Dzat Yang Maha Berkehendak. Walaupun dalam batas-batas tertentu Dzat Yang Maha Agung itu juga memberikan kewenangan kepada manusia untuk menentukan jalan hidupnya sendiri. Begitupun, Bisri Syansuri kecil tentu tidak akan pernah menyangka jika pada akhirnya akan menjadi “orang“ di Denanyar Jombang, bahkan sampai menjadi Rais Aam PBNU menggantikan kakak iparnya (KH Wahab Chasbullah) yang harus terlebih dahulu menghadap Allah SWT. Perjalanannya menuju Jombang diawali ketika pada usia 15 tahun, Bisri Syansuri mulai keluar kandang untuk nyantri kepada Kyai Kholil di Bangkalan Madura. Di sinilah Bisri Syansuri secara serius mendalami ilmu Fiqh yang dikemudian hari menjadi trade mark-nya, dan sekaligus bertemu dengan KH Wahab Chasbullah, washilah yang membawanya ke Jombang, nyantri kepada Hadratussyaikh KH Hasyim Asy’ari selama enam tahun , sebelum memperdalam ilmu di tanah suci Makkah. KH Bisri Syansuri muda memang tidak terlalu menonjolkan diri dalam lingkungan pergaulannya. Bisri Syansuri muda lebih suka menghabiskan waktu dengan rutinitas dan kebersamaan dengan teman-teman sebayanya Walaupun demikian, KH Bisri Syansuri tetap mampu “ tampil menjadi pelopor“ dalam jagat pendidikan pesantren. Setelah selama dua tahun membantu mertuanya sembari belajar, KH Bisri Syansuri menetapkan pilihan untuk hidup mandiri dan bertekad membangun pesantren di Denanyar Jombang KH Bisri Syansuri boleh disebut sebagai “kyai plus“. Dalam diri KH Bisri Syansuri paling tidak melekat tiga karakter sekaligus. Yaitu sebagai perintis kesetaraan gender dalam pendidikan di pesantren, seorang ahli dan pecinta fiqh dan sekaligus seorang politisi. Ketulusan Hati Beliau Dalam segala tingkh laku dan tutur katanya namp;ak benar betapa kebrsihannya, keikhlasan dan ketulusan beliau. Tidak pandang siapa dan di mana tempatnya, kalau memang terdapat kekurangan pada seseorang tentu beliau ajan menegurnya dengan hormat dan lemah lembut, akan diingatkannya dengan sopan santun dan bijaksana. Akan diterima secara baik atau tidak oleh yang diingatkan baginya sama saja. “diikuti atau tidak itu adalah soal dia sendiri, saya hanya sekedar mempringatkan kepada siapa saja yang sedang lupa”. Demikian lah sikap beliau setiap malakukan kewajiban. Justru karena keikhlasan dan ketulusan beliau, maka selalu mendapat penghargaan dari pihak yang diingatkan tadi. Karena beliau tidak ingIn dipuji disegani dan ditakuti, tetapi hanya sematamata ikhlas karena Allah. Perintis Kesetaraan Gender Rasanya tidak berlebihan kalau Kyai Bisri Syansuri disebut sebagai pejuang kesetaraan gender, khususnya di kalangan pesantren. Kyai Bisrilah orang pertama yang mendirikan kelas khusus untuk santri-santri wanita di pesantren yang didirikannya. Walalupun baru diikuti perempuan-perempuan di desanya Di zaman yang masih kental dengan nilai-nilai patrimonial waktu itu, apa yang dilakukan Kyai Bisri termasuk kategori “aneh“. Untung sang guru yang sangat dihormatinya, hadratussyaikh KH Hasyim Asy’ari tidak menentang terobosan yang dilakukannya. Kalau saja hadratussyaikh melarang, niscaya Kyai Bisri Syansuri tidak akan melanjutkan langkah fenomenal yang telah dibuatnya. Hal ini semata-mata karena takdzimnya yang begitu mendalam kepada sang guru yang selalu dipanggilnya “kyai“. Ahli dan Pecinta Fiqh Karakter sebagai pecinta Fiqh terbentuk ketika Kyai Bisri nyantri kepada KH Kholil Bangkalan, dan semakin menguat setelah nyantri di Tebuireng. Kyai Bsiri memang sengaja mendalami pokok-pokok pengambilan hukum agama dalam fiqh, terutama literatur fiqh lama. Tidak mengherankan jika Kyai Bisri begitu kukuh dalam memegangi kaidah-kaidah hukum fiqh, dan begitu teguh dalam mengkontekstualisasikan fiqh kepada Kenyataan hidup secara baik Walaupun begitu, Kyai Bisri tidak kaku dan kolot dalam berinteraksi dengan masyarakat. Hal itu setidaknya terlihat dari upayanya dalam merintis pesantren yang di bangunnya di Denanyar Politisi Tangguh Persinggungannya dengan politik praktis diawali ketika bergabung dengan Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) mewakili Masyumi, menjadi anggota Dewan Konstituante dan puncaknya ketika dipercaya menjadi Ketua Majelis Syuro PPP ketika NU secara formal tergabung dalam partai berlambang ka’bah itu. Salah satu prestasi yang paling mengesankan, ketika Kyai Bisri Syansuri berhasil mendesakkan disyahkannya UU perkawinan hasil rancangannya bersama-sama ulama NU. Padahal sebelumnya pemerintah sudah membuat rancangan undang-undang Perkawinan ke Dewan Perwakilan Rakyat. Kini, masyarakat merindukan kembali hadirnya seorang “kyai plus“ seperti KH Bisri Syansuri. Kapankah kerinduan itu terobati. Wallahu a’lam. (Amn). KESIMPULAN Teori belajar atau pemikiran para Mu’allim zaman dahulu ssangatlahj berbeda dengan Mu’allim zaman sekarang. Mungkin sepintas kita melihat di zaman sekrang yang sudah maju banyak teori belajar yang beraneka ragam dan katanya itu merupakan teori belajar yang pantas untuk diterapkan dan dipraktekkan oleh seoarang pengajar kepada muridnya. Memang saya juga mengakui mengakui demikian. Tetapi jika kita bendingkan dengan teori belajar para guru zaman dahulu, apakah perbedaannya?. Setelah saya membaca beberapa buku sejarah para tokoh zaman dahulu, terutama tokoh-tokoh Islam Indonesia, saya melihat perbedaan yang paling mencolok adalah dari segi bathiniyah Mu’allim, yakni ketulusan dan keinkhlasan hati mereka. Para Mu’allim zaman dahulu mungkin mereka belum mengenal teori belajar atau mungkin teori pendidikan seperti pada zaman sekarang, tapi mereka mengajar para muridnya semata-mata dengan niat mentranfer ilmu mereka kepada muridnya, dan itu dilakaukan dengan keikhlasan dan ketulusan hati mereka. Memang kita melihat mereka hanya mengajar dengan fasilitas yang kurang memadai dan dengan ilmu yang mungkin terbatas sesuai dengan mereka miliki, tapi hasil dari anak didik mereka ternyata malah banyak memilki prestasi gemilang dan keilmuannya juga meyakinkan. Dari sini saya merasa bahwa di zaman sekarang yang sudah maju dengan teknologi dan keilmuannya akan menjadi lebih baik lagi apabila seorang pendidik mengajar dengan teori-teori belajar yang baik dan disertai bathiniah yang baik pula. Sehingga suasana belajar juga terasa lebih nyaman dan selalu dibarengi dengan keharmonisan dan kebahagian di antara mu’allim dan murid. REFERENSI Masyhuri, Abd Aziz. Al-Maghfurlah K. H. M. Bisri Syansuri Cita-cita dan pengabdiannya. PP. Aziziyah: Jombang. Sumber "KH Bisri Syansuri, Pecinta Hukum Fiqh sepanjang Hayat", KH Abdurahman Wahid, Majalah Amanah 1989.

Copy the BEST Traders and Make Money : http://bit.ly/fxzulu
Tempat Kelahiran Beliau lahir pada hari rabu, 28 Dzulhijjah 1304 H atau 18 September 1886 M di Tayu, sebuah ibukota kecamatan yang letaknya kira-kira 100 Km arah timur laut Semarang di Jawa Tengah, kawasan pesisir Pantai Utara Jawa yang memiliki budaya sosial keagamaannya sendiri sebagai salah satu titik dalam jalur daerah yang penduduknya teguh memegang tradisi keagamaan. Tayu merupakan latar belakang geografi yang sangat mewarnai pandangan hidup beliau di kemudian hari, dan sedikit banyak turut membentuk kepribadiannya. Beliau memang lahir dalam tradisi keagamaan yang kuat dari keturunan yang memiliki ulama bermutu tinggi, di pihak ibunya yang dilahirkan dari keluarga besar di Lasem. Keluarga ibunya adalah keluarga yang menurunkan beberapa ulama besar dalam berbagai generasi, seperti almarhum K. H. Kholil Lasem dan almarhum K. H. Baidlowi Lasem. Hingga saat ini pun masih merupakan suatu pesantren induk bagi banyak pesantren lainnya, dan tidak heran jika tradisi yang demikian kuat kaitannya dengan penguasaan ilmu agama Islam secara mendalam itu akan tumbuh seorang agamawan yang kemudian akan menjadi salah seorang ulama besar yang memberikan bekas tersendiri terhadap sejarah bangsa dan negara. Asuhan di masa kecilnya Beliau sebagaimana umumnya pada dunia anak-anak di waktu itu, yakni jarang sekali mendapat asuhan yang cukup sempurna dari ayah dan ibunya, sebab pada waktu itu orang lebih banyak yang senangmenyerahkan hal pendidikan dan pengajaran anaknya pada masa atau zaman dari pada berusaha sendiri membentuk jiwa anak tersebut dengan cara yang teratur dan sisitematik, sebagaimana kita lihat banyak orang tua yang menyerahkan pendidikan anaknya pada pondok dan lainnya. Beliau hidup sebagaimana ahli fikir, ahli ilmu pengetahuan, hidup pada zaman kecilnya di zaman purba juga, yakni sangat kurang dan jauh sekali dari kecukupan, kalau dibandingkan dengan ukuran keperluan belajar sebagaimana pada zaman sekarang.tetapi pada umumnya mereka orang-orang dahulu itu hidup lebih tenteram dan tenang dari pada orang yang hidup pada zaman modern ini. C. Khazanah K. H. M. Bisri Syansuri Seorang mukmin sejati pasti percaya bahwa ada yang mengatur perjalanan hidup manusia, yaitu Dzat Yang Maha Berkehendak. Walaupun dalam batas-batas tertentu Dzat Yang Maha Agung itu juga memberikan kewenangan kepada manusia untuk menentukan jalan hidupnya sendiri. Begitupun, Bisri Syansuri kecil tentu tidak akan pernah menyangka jika pada akhirnya akan menjadi “orang“ di Denanyar Jombang, bahkan sampai menjadi Rais Aam PBNU menggantikan kakak iparnya (KH Wahab Chasbullah) yang harus terlebih dahulu menghadap Allah SWT. Perjalanannya menuju Jombang diawali ketika pada usia 15 tahun, Bisri Syansuri mulai keluar kandang untuk nyantri kepada Kyai Kholil di Bangkalan Madura. Di sinilah Bisri Syansuri secara serius mendalami ilmu Fiqh yang dikemudian hari menjadi trade mark-nya, dan sekaligus bertemu dengan KH Wahab Chasbullah, washilah yang membawanya ke Jombang, nyantri kepada Hadratussyaikh KH Hasyim Asy’ari selama enam tahun , sebelum memperdalam ilmu di tanah suci Makkah. KH Bisri Syansuri muda memang tidak terlalu menonjolkan diri dalam lingkungan pergaulannya. Bisri Syansuri muda lebih suka menghabiskan waktu dengan rutinitas dan kebersamaan dengan teman-teman sebayanya Walaupun demikian, KH Bisri Syansuri tetap mampu “ tampil menjadi pelopor“ dalam jagat pendidikan pesantren. Setelah selama dua tahun membantu mertuanya sembari belajar, KH Bisri Syansuri menetapkan pilihan untuk hidup mandiri dan bertekad membangun pesantren di Denanyar Jombang KH Bisri Syansuri boleh disebut sebagai “kyai plus“. Dalam diri KH Bisri Syansuri paling tidak melekat tiga karakter sekaligus. Yaitu sebagai perintis kesetaraan gender dalam pendidikan di pesantren, seorang ahli dan pecinta fiqh dan sekaligus seorang politisi. Ketulusan Hati Beliau Dalam segala tingkh laku dan tutur katanya namp;ak benar betapa kebrsihannya, keikhlasan dan ketulusan beliau. Tidak pandang siapa dan di mana tempatnya, kalau memang terdapat kekurangan pada seseorang tentu beliau ajan menegurnya dengan hormat dan lemah lembut, akan diingatkannya dengan sopan santun dan bijaksana. Akan diterima secara baik atau tidak oleh yang diingatkan baginya sama saja. “diikuti atau tidak itu adalah soal dia sendiri, saya hanya sekedar mempringatkan kepada siapa saja yang sedang lupa”. Demikian lah sikap beliau setiap malakukan kewajiban. Justru karena keikhlasan dan ketulusan beliau, maka selalu mendapat penghargaan dari pihak yang diingatkan tadi. Karena beliau tidak ingIn dipuji disegani dan ditakuti, tetapi hanya sematamata ikhlas karena Allah. Perintis Kesetaraan Gender Rasanya tidak berlebihan kalau Kyai Bisri Syansuri disebut sebagai pejuang kesetaraan gender, khususnya di kalangan pesantren. Kyai Bisrilah orang pertama yang mendirikan kelas khusus untuk santri-santri wanita di pesantren yang didirikannya. Walalupun baru diikuti perempuan-perempuan di desanya Di zaman yang masih kental dengan nilai-nilai patrimonial waktu itu, apa yang dilakukan Kyai Bisri termasuk kategori “aneh“. Untung sang guru yang sangat dihormatinya, hadratussyaikh KH Hasyim Asy’ari tidak menentang terobosan yang dilakukannya. Kalau saja hadratussyaikh melarang, niscaya Kyai Bisri Syansuri tidak akan melanjutkan langkah fenomenal yang telah dibuatnya. Hal ini semata-mata karena takdzimnya yang begitu mendalam kepada sang guru yang selalu dipanggilnya “kyai“. Ahli dan Pecinta Fiqh Karakter sebagai pecinta Fiqh terbentuk ketika Kyai Bisri nyantri kepada KH Kholil Bangkalan, dan semakin menguat setelah nyantri di Tebuireng. Kyai Bsiri memang sengaja mendalami pokok-pokok pengambilan hukum agama dalam fiqh, terutama literatur fiqh lama. Tidak mengherankan jika Kyai Bisri begitu kukuh dalam memegangi kaidah-kaidah hukum fiqh, dan begitu teguh dalam mengkontekstualisasikan fiqh kepada Kenyataan hidup secara baik Walaupun begitu, Kyai Bisri tidak kaku dan kolot dalam berinteraksi dengan masyarakat. Hal itu setidaknya terlihat dari upayanya dalam merintis pesantren yang di bangunnya di Denanyar Politisi Tangguh Persinggungannya dengan politik praktis diawali ketika bergabung dengan Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) mewakili Masyumi, menjadi anggota Dewan Konstituante dan puncaknya ketika dipercaya menjadi Ketua Majelis Syuro PPP ketika NU secara formal tergabung dalam partai berlambang ka’bah itu. Salah satu prestasi yang paling mengesankan, ketika Kyai Bisri Syansuri berhasil mendesakkan disyahkannya UU perkawinan hasil rancangannya bersama-sama ulama NU. Padahal sebelumnya pemerintah sudah membuat rancangan undang-undang Perkawinan ke Dewan Perwakilan Rakyat. Kini, masyarakat merindukan kembali hadirnya seorang “kyai plus“ seperti KH Bisri Syansuri. Kapankah kerinduan itu terobati. Wallahu a’lam. (Amn). KESIMPULAN Teori belajar atau pemikiran para Mu’allim zaman dahulu ssangatlahj berbeda dengan Mu’allim zaman sekarang. Mungkin sepintas kita melihat di zaman sekrang yang sudah maju banyak teori belajar yang beraneka ragam dan katanya itu merupakan teori belajar yang pantas untuk diterapkan dan dipraktekkan oleh seoarang pengajar kepada muridnya. Memang saya juga mengakui mengakui demikian. Tetapi jika kita bendingkan dengan teori belajar para guru zaman dahulu, apakah perbedaannya?. Setelah saya membaca beberapa buku sejarah para tokoh zaman dahulu, terutama tokoh-tokoh Islam Indonesia, saya melihat perbedaan yang paling mencolok adalah dari segi bathiniyah Mu’allim, yakni ketulusan dan keinkhlasan hati mereka. Para Mu’allim zaman dahulu mungkin mereka belum mengenal teori belajar atau mungkin teori pendidikan seperti pada zaman sekarang, tapi mereka mengajar para muridnya semata-mata dengan niat mentranfer ilmu mereka kepada muridnya, dan itu dilakaukan dengan keikhlasan dan ketulusan hati mereka. Memang kita melihat mereka hanya mengajar dengan fasilitas yang kurang memadai dan dengan ilmu yang mungkin terbatas sesuai dengan mereka miliki, tapi hasil dari anak didik mereka ternyata malah banyak memilki prestasi gemilang dan keilmuannya juga meyakinkan. Dari sini saya merasa bahwa di zaman sekarang yang sudah maju dengan teknologi dan keilmuannya akan menjadi lebih baik lagi apabila seorang pendidik mengajar dengan teori-teori belajar yang baik dan disertai bathiniah yang baik pula. Sehingga suasana belajar juga terasa lebih nyaman dan selalu dibarengi dengan keharmonisan dan kebahagian di antara mu’allim dan murid. REFERENSI Masyhuri, Abd Aziz. Al-Maghfurlah K. H. M. Bisri Syansuri Cita-cita dan pengabdiannya. PP. Aziziyah: Jombang. Sumber "KH Bisri Syansuri, Pecinta Hukum Fiqh sepanjang Hayat", KH Abdurahman Wahid, Majalah Amanah 1989.

Copy the BEST Traders and Make Money : http://bit.ly/fxzulu

Logo An Najah